Minggu, 21 Juli 2019



            Sebagai salah satu anak beruntung yang dapat menerima ilmu sebegitu mendetailnya di bangku perkuliahan, saya merasa terkesima tentang ilmu dan pendidikan. Satu hal yang menarik tentang ilmu. Ketika kamu coba mengupas satu masalah, akan muncul masalah baru dan pertanyaan demi pertanyaan berdatangan. Seperti mengupas bawang, akan ada lapisan lain setelah terbukanya satu lapisan. Yang menjadi pertanyaan adalah, apa inti dari semua ilmu yang didapat?
            Mari kita lihat keadaan pendidikan hari ini. Saya sudah belajar hal mendasar, lalu belajar hal yang mendetail, bahkan melakukan riset dan mengembangkan teknologi terbarukan. Setelah itu semua, satu hal yang muncul dikepala. Lantas apa?
            Dilihat dari sudut pandang pelajar, pendidikan hari ini dilakukan untuk selanjutnya mendapat ijazah sebagai bekal mencari pekerjaan. Semakin tinggi ijazah yang dimiliki, dianggap akan membawa pada kesejahteraan ekonomi yang lebih baik. Ujung dari semua itu adalah harta dan kedudukan dunia. Bagaimana cara meng’uang’kan ilmu yang telah didapat.
            Pada umumnya, pelajar saat ini bisa dikatakan tidak punya arah dan tujuan yang jelas dalam hakikatnya mencari ilmu. Maka yang terjadi adalah persaingan tidak sehat, mekanisme berantakan, motivasi belajar yang kurang, bahkan bertanya-tanya “untuk apa saya mempelajari hal ini?”. Pada akhirnya proses belajar hanya menjadi sebuah formalitas dan rutinitas, bahkan dianggap beban oleh sebagian orang.
            Bisa dikatakan dengan sudut pandang yang luas, hal ini terjadi karena sistem yang digunakan kurang tepat, atau bahkan salah. Bisa terlihat dari aturan demi aturan yang berlaku sekarang saling tambal sulam untuk mengatasi permasalahan yang muncul. Dalam hal pendidikan, contohnya sistem zonasi sekolah, yang disisi lain menyelasaikan suatu masalah, namun disisi lain menimbulkan permasalahan baru. Contoh lainnya, menyerahkan pendidikan dengan mengandalkan tenaga asing tanpa mencoba membentuk bangsa yang mandiri, entah akan seperti apa hasilnya nanti.
            Kalau kita lihat ke belakang, saat ilmu pertama kali berkembang pesat, pada dinasti Abbasiyah saat Islam sedang dalam masa keemasan. tujuan menuntut ilmu, motivasi dasar dan sistematikanya terstruktur sangat jelas, sehingga membawa pada peradaban yang cemerlang.
            Sejak awal kebangkitan Islam, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat. Pendidikan dimulai saat anak-anak dengan mengenal dasar bacaan, menghitung dan menulis. Ketika remaja belajar dasar ilmu agama seperti tafsir, hadis, fiqih dan bahasa agar dasar pendidikan mereka kuat. Lalu pada tingkat pendalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi ke luar daerah untuk menuntut ilmu pada ahli di bidangnya masing-masing. Sehingga lahirlah ilmuwan dengan dasar yang kuat, dan tujuan yang jelas mengenai apa yang mereka pelajari. Tidak hanya berorientasikan dunia, tapi juga akhirat. Beberapa tokoh terkenal diantaranya, Ibn Sina, Al-farabi, Alhazen, Jabr Ibn Hayyan, dll.
            Bisa dikatakan bahwa sistem pembelajaran hari ini dilakukan secara terbalik, kita terlalu fokus pada ilmu duniawi yang bersifat mendetail tanpa dibarengi pengetahuan agama,  sehingga yang muncul adalah ketidakpastian arah, tujuan dan hakikat dalam menuntut ilmu. Maka, kemajuan peradaban yang diharapkanpun tidak kunjung terlaksana, karena pada dasarnya, pelajar saat ini ditengah sistem yang sekarang tidak diarahkan untuk menjadi seseorang yang berorientasi luas sampai ke akhirat, namun belajar hanyalah untuk kepentingan pribadi semata. Semoga, Indonesia bisa belajar dari sejarah, menjadikan islam sebagai pondasi sistem pendidikan sehingga terwujud revolusi mental hakiki dan SDM berakhlakul karimah sebagaimana yang telah dicita-citakan bersama. Wallohu’alam bishowab[]


Sabtu, 20 Juli 2019



Pendahuluan
            Terhitung sejak tanggal 1 Januari 2015 sesuai dengan Permen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 31 Tahun 2014 pemerintah Indonesia secara resmi telah memberlakukan penyesuaian (kenaikan) tarif dasar listrik (TDL) untuk delapan golongan yaitu golongan rumah tangga R-1 (1.300 VA), R-1 (2.200 VA), R2 (3.500-5.500 VA) dikenakan tarif baru Rp 1.352 per kWh dari sebelumnya Rp 1.145 per kWh. Golongan industri menengah I-3 (di atas 200 kVA), penerangan jalan umum P-3, kantor pemerintah P-2 (di atas 200 kVA), industri besar I-4 (di atas 30.000 kVA), dan pelanggan layanan khusus juga terkena penyesuaian tarif.[1] Sebelumnya, yakni di tahun 2014 pemerintah telah melakukan penyesuaian untuk empat golongan yaitu rumah tangga R-3 (di atas 6.600 VA), bisnis B-2 (6.600 VA – 200 kVA), bisnis B-3 (di atas 200 kVA) dan kantor pemerintah P-1 (6.600 VA).[2] Hanya pelanggan rumah tangga R-1 450 VA dan R-1 900 VA, sosial, bisnis kecil, dan industri kecil yang belum dikenakan tarif penyesuaian. Penyesuaian tersebut akan dilakukan tiap tiga bulan dengan tujuan akhir dapat melakukan penyesuaian tarif listrik untuk semua golongan.

Potensi Sumber Energi dan Pembangkit Listrik Indonesia
            Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber energi yang cukup melimpah, baik sumber energi fosil (minyak bumi, batu bara, gas bumi) dan non fosil (energi baru terbarukan). Per Januari tahun 2010 Direktoral Jendral Minyak dan Gas melansir data potensi minyak mentah Indonesia mencapai 7.408,24 MMSTB yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia dengan potensi terbesar berturut-turut di pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan. (Lihat lampiran 1). Tidak jauh berbeda dengan  minyak bumi, potensi gas bumi Indonesia tersebar hampir merata di seluruh kepulauan Indonesia dengan total potensi sebesar 150,70 TSCF. (Lihat lampiran 2). Pada sektor batu bara, Indonesia memiliki total potensi mencapai 104,76 Miliyar Ton yang tersebar paling besar di pulau Kalimantan dan Sumatera. (Lihat lampiran 3).[3]
            Sebagai negara yang memiliki gunung aktif yang cukup banyak, Indonesia pun memiliki potensi sumber energi panas bumi (geothermal) yang sangat melimpah. Potensi tersebut tersebar di pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi dan Maluku dengan total potensi per tahun 2010 mencapai 29,039 Gwe. (Lihat lampiran 4). Begitupun dengan potensi air Indonesia per tahun 2011 mencapai 75.000 MW yang mampu menerangi lebih dari tiga juta rumah penduduk selama sebulan dengan perkiraan pemakaian listrik 788 Watt per hari (TV 21 inci 28 Watt, komputer 140  Watt, 6 buah lampu @15 Watt, magic jar menanak nasi 465 Watt dan menghangatkan nasi 65 Watt). (Lihat lampiran 5)[3]
            Indonesia sebagai negara yang luas lautannya lebih besar dari pada luas daratannya menyimpan potensi yang mampu menjadi sumber energi alternatif lainnya. Menurut Prof. Safwan Hadi, Ph.D (Dosen Teknik Oseanografi ITB), lautan Indonesia dapat dimanfaatkan sebagai energi alternatif pengganti sumber energi listrik. Pengembangan energi listrik tersebut berasal dari potensi elevasi pasang surut, perbedaan temperatur, arus, gelombang, dan angin di tepi pantai Indonesia.Untuk energi gelombang, bagian selatan Jawa dan bagian barat Sumatera merupakan tempat yang berpotensi untuk dikembangkan, karena wilayahnya yang langsung menghadap ke laut lepas, yaitu Samudera Hindia. Untuk energi dari elevasi pasang surut, daerah paling potensial terdapat di Malaka dan Digul. Sedangkan untuk pembangkit dari potensi suhu atau lebih dikenal sebagai Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC), Indonesia berpotensi di daerah perairan Bali, Sulawesi hingga perairan Papua. Sementara potensi angin pesisir tersebar di daerah selatan Jawa dan Nusa Tenggara Barat. Sedangkan untuk potensi energi arus tersebar di daerah selat Indonesia.[4]
            Potensi energi Indonesia yang melimpah ruah tersebut belum mampu dikelola oleh pemerintah secara maksimal. Menurut Manajer Senior Komunikasi Korporat PT PLN (Persero) Bambang Dwiyanto (tahun 2014) PT PLN (Persero) mencatat jumlah pembangkit listrik di Indonesia mencapai 5.765 pembangkit yang tersebar di seluruh Indonesia. Total kapasitas listrik terpasang nasional mencapai 46.103 MW. Dari jumlah itu, total kapasitas pembangkit yang dimiliki PLN mencapai 34.205 MW. Sedangkan kapasitas pembangkit listrik oleh swasta sebesar 11.898 MW atau 25% dari kapasitas nasional.[5]
            Pada Februari 2014 Tumiran, anggota Dewan Energi Nasional (DEN), menyebutkan bahwa PT PLN (Persero) hanya memiliki kapasitas 35,33 GW untuk memenuhi kebutahan listrik dengan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237 juta jiwa. Berbanding terbalik dengan Negeri Jiran Malaysia, dengan jumlah penduduk 29 juta jiwa, pasokan listriknya mencapai 28,40 GW. Proporsi pasokan listrik di Singapura senilai dengan 10,49 GW, sedangkan jumlah penduduknya hanya 5,3 juta jiwa. Tumiran menyatakan bahwa kendala krusial yang dihadapi Indonesia dalam memasok energi, adalah kebergantungan pasokan bahan baku (seperti bahan bakar minyak dan gas) yang selama ini masih diperoleh melalui impor.[6]

Pengelolaan Sistem Tenaga Listrik di Indonesia
UU No 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan menjelaskan bahwa sistem kelistrikan di Indonesia ditangani oleh PLN sebagai BUMN listrik. Namun, UU No. 30 Tahun 2009 memutuskan “monopoli” PLN tersebut sehingga membuka kesempatan seluas-luasnya bagi BUMN, BUMD, badan usaha swasta, serta koperasi dan swadaya masyarakat untuk ikut bersaing pada jenis usaha pembangkitan, transmisi dan distribusi listrik. Pemecahan struktur industri (unbundling) tersebut pada akhirnya semakin mengokohkan liberalisasi pada sektor ketenagalistrikan Indonesia.
Pihak swasta lebih memilih bermain pada sistem pembangkit, sedangkan sistem transmisi dan distribusi diserahkan kepada PLN sepenuhnya. Hal ini tentu saja mengakibatkan beban tanggungan PLN lebih besar dibandingkan swasta. PLN harus mampu membuat sistem transmisi dan distribusi bagi seluruh rakyat Indonesia dengan kondisi letak antara sistem pembangkit dan pelanggan sangat jauh, sehingga modal yang harus dikeluarkan memakan jumlah yang sangat besar.


Gambar 1. Pemecahan struktur industri (unbundling) Ketenagalistrikan

Dengan areal kerja yang sedemikian luas (seluruh Indonesia) serta dengan total jumlah pelanggan yang hingga tahun 2014 mencapai 54 juta pelanggan maka jelas hal ini merupakan tantangan yang sangat berat bagi PLN.[7] Di satu sisi PLN masih dibebani dengan misi sosial untuk mengusahakan kemakmuran bagi rakyat dan di sisilain PLN harus mengusahakan profit.

Kondisi PLN Tak Berdaya
            Perkembangan perusahaan ketenagalistrikan di Indonesia mulai muncul sejak masa pemerintahan Belanda berkuasa. Dalam perjalanannya, perusahaan-perusahaan tersebut mengalami beberapa kali pemindah tanganan hak milik, mulai dari Belanda, Jepang hingga akhirnya diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia yang meresmikan Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pengelola tenaga listrik milik negara pada tanggal 1 Januari 1961. Pada tahun 1972, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.17, status PLN ditetapkan sebagai Perusahaan Umum Listrik Negara dan sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dengan tugas menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum. Seiring dengan kebijakan Pemerintah yang memberikan kesempatan kepada sektor swasta untuk bergerak dalam bisnis penyediaan listrik, maka sejak tahun 1994 status PLN beralih dari Perusahaan Umum (Perum) menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dan juga sebagai PKUK dalam menyediakan listrik bagi kepentingan umum hingga sekarang.[7]
Yusuf Senopati Riyanto, Ketua Umum Forum Indonesia mengatakan perubahan status menjadi persero tersebut tentu saja menimbulkan konsekuensi bagi PLN. Pada satu sisi PLN harus tetap menjalankan fungsi sosialnya dalam bentuk public service obligation (PSO) dan di sisi yang lain harus bisa mendapatkan keuntungan berdasarkan kaidah-kaidah bisnis perusahaan yang rasional. Padahal dua fungsi tersebut sangat bertentangan. Akibatnya PLN tidak bisa bergerak lincah. Pembentukan anak perusahaan yang diharapkan bisa menjalankan fungsi komersial ternyata tak berdampak banyak bagi PLN untuk mendapatkan laba. Dengan kata lain anak perusahaan tak lebih daripada unit bisnis PLN.[8]
Selain itu, persoalan dari tubuh PLN sendiri sulit untuk diatasi. Pertumbuhan kebutuhan listrik tak sebanding dengan kemampuan PLN menyediakan pembangkit. Keterbatasan keuangan melatarbelakangi merosotnya peran PLN. Pemenuhan listrik di Indonesia mencapai US$12,5 miliar setiap tahun, sementara kemampuan PLN hanya US$5 miliar per tahun. Selain itu, utang PLN yang menggunung juga menjadi persoalan tersendiri. Utang PLN mencapai Rp 400 triliun, padahal aset PLN di tahun 2013 hanya berkisar Rp 604 triliun.[9] Hal ini dipicu oleh kebergantugan PLN pada bahan bakar minyak yang cenderung harganya melambung tinggi dari masa ke masa. Sedangkan bahan bakar fosil lainnya seperti batu bara dan gas alam lebih banyak diekspor pemerintah dibandigkan untuk dikonsumsi bangsa sendiri.
Menurut Direktur Keuangan PLN, Setio Anggoro Dewo, mengatakan perseroan merugi hingga Rp 30,9 triliun sepanjang tahun 2013 karena terjadi rugi kurs akibat utang PLN didominasi oleh valas (30% dari total utang PLN). Utang valas tersebut misalnya pinjaman dari ADB, World Bank, lembaga lain dari satu negara seperti JICA, JBIC, dan bank dari Prancis AFD, termasuk global bond.[10] Selain itu, terdapat aturan Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK) nomor 8  yang harus dilaksanakan PLN. Standar tersebut mengharuskan pembiayaan jangka panjang dan sewa jangka panjang seperti penyediaan listrik swasta (independent power producer/IPP) harus dikonsolidasikan sebagai hutang PLN, artinya pembangkit yang dibangun swasta harus dibeli PLN.
Pemerintah tidak menutup mata dengan keterbatasan PLN. Saat ini Kementerian ESDM tengah menggodok regulasi power wheeling yang memungkinkan produsen listrik swasta membangun pembangkit dan menjual listrik secara langsung tanpa melalui PLN. Menurut Nur Pamudji, Direktur Utama PLN, regulasi itu tidak akan menarik minat swasta membangun pembangkit listrik. Pasalnya, skema power wheeling berbeda dengan IPP yang listriknya dibeli PLN. Produsen listrik swasta dengan skema power wheeling tak memiliki jaminan konsumen yang mengakibatkan lembaga pemberi modal tak akan memberikan kredit dengan mudah.
Oleh karena itu, kerja sama yang bersifat mengikat antara PLn dan pihak swasta lokal maupun asing dianggap solusi satu-satunya yang bisa mengeluarkan PLn dari ketidak berdayaannya. Kerjasama dengan konsultan-konsultan lokal maupun asing terus di tumbuh-kembangkan dalam rangka meningkatkan pangsa pasar. Padahal sejatinya, bagi asing hal tersebut merupakan jalan mulus menuju penguasaan sektor yang menanggung hajat hidup orang banyak ini. Inilah wajah asli dari neoliberalisme yang kian mencengkram.

TDL naik, Rakyat Jadi Korban
Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintah berhak untuk campur tangan dalam urusan BUMN termasuk PLN khususnya dalam hal penetapan tarif. Sebagai realisasi dari regulasi tersebut, maka pemerintah dan PLN memberlakukan kenaikan TDL per Januari  2015 dengan alasan jatah subsidi yang diberikan sedikit sedangkan modal yang diperlukan untuk pengadaan listrik lebih besar. Padahal harga bahan bakar minyak mentah yang dijadikan sebagai bahan bakar utama pembangkit listrik saat ini mengalami penurunan.
Melalui kenaikan TDL ini mengindikasikan bahwa pemerintah secara bertahap melakukan pemangkasan subsidi listrik karena dianggap telah membebani APBN. Padahal besaran subsidi listrik yang akan dinikmati oleh seluruh kalangan masyarakat maupun industri jauh lebih kecil dibandingkan dengan beban lain -misalnya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), bunga hutang negara dan dana berbagai tunjangan pejabat negara- yang dinikmati oleh segelintir orang saja. Di samping itu, kerugian yang dikeluhkan oleh PLN sendiri pada dasarnya merupakan akibat serta konsekuensi dari diubahnya status PLN sebagai perum menjadi persero dan diterapkannya kebijakan unbundling yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah bukan akhirnya membebankan kepada masyarakat dengan menarik tarif yang lebih tinggi.
Dampak dari kenaikan TDL tersebut banyak dirasakan oleh masyarakat baik kalangan menengah ke atas maupun menengah ke bawah. Manager Operasional Cabe Rawit Copy & Printing Palembang, Yanti mengatakan, kenaikan TDL sangat memberatkan ongkos produksi percetakan karena kebutuhan listrik untuk industri digital printing sangat besar, mencapai 75% dari keseluruhan biaya operasional. Akibatnya masyarakat kecil, terutama anak-anak usia sekolah (SD, SMP, dan SMA) serta mahasiswa yang sering menggunakan jasa tersebut ikut terbebani. Ketua Forum Pedagang Kaki Lima (FPKL) AP Luat Siahaan, mengatakan kenaikan TDL membuat daya beli masyarakat menurun yang berimbas pada menurunnya omset. Selanjutnya akan memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran  sehingga berdampak pada pengangguran yang semakin tinggi.

Liberalisasi Biang Kerok Karut Marut Ketenagalistrikan Indonesia
            Sejak dilahirkannya, sistem kapitalisme adalah sistem yang telah memiliki cacat bawaan. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara yang menggunakan sistem kapitalisme sebagai sistem pemerintahannya banyak mengalami kekacauan multidimensi termasuk  dalam sektor ketenagalistrikan. Liberalisme sektor migas sebagai turunan dari sistem kapitalisme memberikan peran penting terhadap karut marutnya ketenagalistrikan Indonesia. Bahan bakar utama yang digunakan untuk pembangkit listrik seperti batu bara, gas alam dan minyak mentah pada akhirnya banyak dikelola secara langsung oleh asing. Tidak hanya karena legalisasi dalam bentuk perundangan, keleluasaan swasta terutama asing pun dipicu oleh keberadaan teknologi berat semisal alat pengoboran yang banyak dimiliki oleh asing. Bahan baku yang didapatkan kemudian lebih banyak diekspor untuk kepentingan negara lain dibandingkan untuk kepentingan negara sendiri. Lagi-lagi hal ini dipicu oleh ketidak mampuan pemerintah dalam mengadakan teknologi pengelolaan migas tersebut semisal pengilangan minyak yang pada akhirnya negara harus membeli bahan bakar yang telah diolah asing padahal bahan bakunya berasal dari negeri sendiri. Akibatnya laba yang didapatkan dalam penjualan bahan baku tak sebanding dengan pengeluaran dalam pengadaan bahan bakar yang siap pakai.
            Selain itu, perubahan status PLN menjadi perusahaan persero membuka dengan leluasa peran swasta dalam pemenuhan kebutuhan listrik dalam negeri. Bagian yang banyak digeluti swasta adalah dalam pengadaan pembangkit sedangkan pengadaan sistem transmisi dan distribusi dilakukan oleh PLN. Meskipun total pembangkit swasta hanya sekitar 25%, namun keuntungan yang diperoleh dalam sistem pembangkit lebih besar yaitu sekitar 15-22%. Sedangkan keuntungan dalam pengadaan transmisi hanya 5-6%, padahal biaya yang dikeluarkan dalam pengadaan transmisi dan distribusi lebih besar yaitu untuk pengadaan kabel transmisi yang menghubungkan antar daerah bahkan pulau, gardu transmisi, gardu distribusi dan lain-lain.
Selain biaya pengadaannya yang relatif besar, PLN pun semakin merugi dengan berkurangnya arus listrik akibat dari losess energy yang ditimbulkan oleh panjangnya kabel penghubung transmisi dan distribusi karena jauhnya jarak pembangkit dengan pelanggan. Oleh karena itu, mau tidak mau PLN harus menambah beban penarikan pelayanan listrik dari masyarakat dengan konsekuensi kualitas pelayanan yang tetap sama. Maka wajar jika masyarakat terutama di luar pulau Jawa dan Bali sering mengalami pemadaman listrik secara rutin serta pembangunan infrastruktur yang terlambat bahkan cenderung di anak tirikan. Strategi dan pendekatan penyediaan tenaga listrik yang bercorak liberalisasi, unbundling dan terdesentralisasi inilah yang mengakibatkan kacau balaunya sistem ketenagalistrikan Indonesia.

Persfektif Islam Terhadap Ketenagalistrikan
            Sistem ekonomi islam memiliki aturan yang jelas dalam kepemilikan setiap harta kekayaan yang ada di muka bumi ini. Kepemilikan harta pada dasarnya adalah kepemilikan bagi Allah, bukan bagi manusia (Q.S. An-Nur [24]: 33 dan Q.S. Nuh [71]: 12). Namun, ketika Allah menjadikan manusia yang menguasai harta, maka Allah telah menjadikan hak kepemilikan harta itu kepada manusia (Q.S. Al-Hadid [57]: 7). Adapun jika dikaji secara mendalam terhadap sejumlah nash syara’, maka kepemilikan dibagi kedalam tiga kategori, yaitu kepemilikan individu, umum dan negara.[9]
            Kepemilikan individu yaitu hukum syara’ atas barang dan jasa yang memberinya peluang bagi orang yang memilikinya untuk memperoleh manfaat serta mendapatkan imbalan dari penggunaannya. Diantara dalil yang mendasarinya adalah sabda Nabi saw, “Barang siapa memasang pagar atas sesuatu, maka sesuatu itu menjadi miliknya.”(HR. Al-Imam Ahmad). Kepemilikan umum yaitu izin asy-Syari’ kepada masyarakat untuk memanfaatkan barang-barang secara bersama-sama. Dalil definisi ini adalah nas-nas yang menyatakan tentang kepemilikan umum, seperti sabda Nabi saw, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air dan api.”(HR Abu Dawud dan Ahmad). Sedangkan kepimilikan negara adalah setiap harta kekayaan yang penggunaannya diserahkan kepada pendapat kepala negara (khalifah) dan ijtihadnya, seperti pajak, kharaj dan jizyah. Sedangkan dalil atas kepemilikan negara  adalah bahwa Rasulullah saw pernah menafkahkan fa’i, harta kharaj dan jizyah berdasarkan pendapatnya.
            Oleh karena itu, dalam persfektif islam, listrik yang merupakan bagian dari energi adalah milik umum. Selain karena  masuk dalam kategori ‘api’ yang merupakan milik umum, sumber energi yang digunakan untuk pembangkit listrik baik oleh PLN maupun swasta sebagian besar berasal dari barang tambang yang jumlahnya besar juga merupakan milik umum. Dengan demikian, pengelolaan listrik tidak boleh diserahkan pada pihak swasta, karena Allah swt telah mengamanatkan kepada Negara (Khilafah) untuk mengelolanya, sebagaimana hadis Rasulullah “Al imam adalah pemimpin kaum muslim yang akan bertanggung-jawab terhadap yang dipimpinpinya”. Negaralah yang bertanggungjawab sepenuhnya dalam pengelolaan sumber energi, tidak hanya sebagai regulator tapi sekaligus sebagai pengelolanya langsung. Negara bertanggungjawab sedemikian rupa sehingga setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan listriknya baik dari sisi kualitas maupun kuantitas dengan harga murah bahkan gratis untuk seluruh rakyat baik kaya atau miskin, muslim maupun non muslim.

Tata Kelola Ketenagalistrikan Khilafah
Khilafah adalah kepemimpinan umum kaum muslim yang menerapkan aturan islam dalam seluruh aspek kehidupan. Setiap kebijakan yang ada dalam negara khilafah selalu berdasarkan pada nas-nas syara’. Kholifah sebagai kepala negara khilafah akan menyelesaikan setiap permasalahan masyarakatnya dengan pertimbangan manusia dilihat dari potensi hidupnya. Oleh karena itu, setiap kebutuhan manusia yang bersifat primer (sandang, papan, dan pangan) akan senantiasa diperhatikan dan dipenuhi seutuhnya oleh negara, termasuk di dalamnya juga pemenuhan listrik yang menjadi kebutuhan setiap warga negara.
Hal yang utama dilakukan khilafah  adalah penguasaan sumber energi yang menjadi hak milik umum rakyat beserta pengadaan teknologinya. Adapun kerjasama dengan pihak swasta bukanlah dalam bentuk Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), dimana pengelolaan sepenuhnya dilakukan oleh pihak swasta sementara pemerintah hanya meperoleh hak bagi hasil. Akan tetapi harus berupa relasi yang tidak akan mengurangi wewenang, fungsi dan tanggung jawab Negara, seperti sewa menyewa, upah mengupah yang sesuai ketentuan syariat Islam.
Langkah berikutnya negara akan berfokus mengembangkan badan risetnya di bidang energi, sehingga mampu menemukan sumber-sumber energi baru yang potensial untuk dieksploitasi. Penelitian-penelitian anak bangsa akan didukung penuh, dibiayai dan difasilitasi bahkan hasil dari penelitiannya akan dijadikan produk massal dan dimanfaatkan secara cuma-cuma oleh masyarakat. Ketika diversifikasi energi tersebut dapat dilakukan, maka negara tidak akan hanya bergantung pada satu sumber energi saja. Alhasil krisis bahan bakar tidak akan menjadi alasan pelalaian negara dalam memenuhi kebutuhan listrik rakyat. Negara memastikan bahwa semua energi tersebut dapat dinikmati oleh seluruh rakyat maupun oleh dunia industri.
Selanjutnya, negara akan membangun sistem sarana dan prasarana yang efektif dan efisien. Sistem pembangkit tenaga listrik akan dibangun disetiap daerah berdasarkan potensi energi yang dimilikinya. Misalnya untuk daerah yang intensitas cahaya mataharinya tinggi, maka akan dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), untuk daerah yang potensi tenaga airnya besar akan dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), untuk daerah yang memiliki banyak sungai dengan ketinggian yang cukup akan dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro dan Piko Hidro (PLTMH dan PLTPH), untuk daerah yang memiliki kecepatan aingin yang besar maka akan dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Banyu (PLTB) dan seterusnya. Hal ini mengakibatkan mudahnya pendistribusian listrik kepada masyarakat dan tidak memerlukan biaya transmisi dan distribusi yang mahal.
Kelebihan dari kebutuhan dalam negeri dapat diekspor ke luar negeri yang keuntungannya dikembalikan kepada seluruh rakyat dalam bentuk kebutuhan publik lainnya seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur maupun untuk riset dan pengembangan teknologi dan sumber daya manusia bidang energi. Selain itu, pengembangan infrastruktur ini akan menciptakan berjuta-juta lapangan pekerjaan yang akan mengangkat berjuta-juta orang keluar dari kemiskinan. Pada gilirannya pengembangan energi akan memberikan efek luar biasa dengan merangsang ekonomi yang lebih luas melalui pengembangan industri berat, kompleks-kompleks manufaktur, industri-industri militer, industri-industri penyulingan dan pabrik-pabrik.
Dengan begitu, Negara Khilafah benar-benar akan bisa mengelola energinya secara mandiri dan tidak diintervensi oleh negara manapun. Jika itu terjadi, maka hasil dari pengelolaan energi itu bukan hanya akan membawa kemakmuran bagi rakyatnya tetapi juga menjadi kekuatan bagi negara. Negara bukan saja mengalami swasembada energi tetapi juga bisa menjadikan energinya sebagai kekuatan diplomasi. Lain halnya dengan kosdisi saat ini yang memperlihatkan kekacauan yang terus menerus terjadi dalam waktu yang sangat panjang.  Hal ini tentu tidak terlepas dari buah diterapkannya sistem ekonomi kapitalis dan sistem politik demokrasi yang mencengkram saat ini. Sistem tersebutlah yang menyebabkan  liberalisasi pada tata kelola listrik, baik sumber energi primer maupun pelayanan listrik yang berimbas pada kesulitan hidup masyarakat. Oleh karena itu, khilafah yang menerapkan syari’at islam yang sempurnalah yang hanya mampu menjadi solusi jitu satu-satunya dalam permasalahan ketenagalistrikan yang dialami Indonesia. Jika khilafah mampu ditegakkan di Indonesia, maka tidak hanya menimbulkan kesejahteraan dunia tapi pun mengundang keberkahan hidup di akhirat.
Wallohu’alam bi ashowab[]

Keterangan:
VA = Volt Ampere
kVA = kilo Volt Ampere
kWh = kilo Watt hour
MMSTB = Million Metric Stock Tank Barrels
TSCF = Trillion Square Cubic Feet
GWe = Giga Watt electric
GW = Giga Watt


Daftar Pustaka:


[9] Muhsin Rodhi, Muhammad. 2012. “Tsaqofah dan Metode Hizbut Tahrir dalam Mendirikan Khilafah”. Bogor: Al Azhar Fresh Zone Publishing






Lampiran

Lampiran 1. Potensi Minyak Bumi Indonesia


Lampiran 2. Potensi Gas Bumi Indonesia


Lampiran 3. Potensi Batu Bara Indonesia


Lampiran 4. Potensi Panas Bumi


Lampiran 5. Potensi Tenaga Air Indonesia





Jumat, 19 Juli 2019



A.    Karut Marut Indonesia Kini
Nasib Indonesia kian tak menentu. Cita-cita agung pancasila yang selama ini diinginkan kian jauh dari harapan. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa sudah jelas ternodai. Bermula dari keberpihakan sang penguasa pada penista agama islam yang berbuntut pada semakin didiskriminasikannya umat islam. Ulama dikriminalisasi, dituduh berbuat makar lalu dipenjarakan. Ormas islam dibubarkan dengan arogan. Melalui Perppu yang hingga kini pun masih menuai pro dan kontra. Bahkan tanpa surat keputusan pembubaran, persekusi nyata dilakukan kepada semua pihak, anggota bahkan yang diduga berafiliasi sekalipun. Mulai dari pembubaran pengajian, teguran kerjaan, pemberhentian menjadi dosen, pembekuan dana hingga pencabutan kewarganegaraan. Isu terbaru mengenai usul seorang praktisi pendidikan dari ormas NU yang mengecam lagu Tepuk Anak Shaleh yang dinilai intoleran kian menciderai sila pertama pancasila.
Kasus penyiraman air raksa kepada ketua penyidik KPK, Novel Baswedan, yang tak kunjung selesai menimbulkan banyak tanda tanya, kemanakah keadilan di negeri ini. Jangankan pelaku intelektual dibaliknya, pelaku lapangan pun tak terkuak sama sekali. Novel berujar dalang penyerangan terhadapnya adalah terindikasi dari oknum aparat penegak hukum sendiri. Kemudian, tertangkapnya ratusan penjahat cyber asal Tiongkok yang langsung saja dideportasi tanpa diberikan hukuman yang setimpal atas kerugian yang ditanggung negara menunjukkan semakin tidak adilnya negeri ini.
Sila persatuan Indonesia semakin sulit diwujudkan terlebih karena ketidak tegasan pemerintah kepada kelompok separatis yang nyata-nyata menginginkan memisahkan diri dari Indonesia. Ditambah lagi adanya oknum politisi Nasdem, Viktor Laiskodat, yang nyata-nyata memecah belah dengan ujaran kebenciannya.
Sila ke empat dan ke lima tak jauh berbeda dengan sila sebelumnya. Jauh dari realisasi bahkan sekedar mimpi saja. Hal ini bisa diliat dari kebijakan pemerintah dengan sistem presidential threshold, hutang Indonesia yang kian menunmpuk, dana haji yang seharusnya amanah ummat tapi hendak dipakai negara, impor garam Australia, dideportasinya penjahat cyber asal Tiongkok, rencana pemotongan gaji PNS, dan lain-lain. Semuanya menunjukkan bahwa suara rakyat tak lagi berarti, suara rakyat tak lagi didengar, kesejahteraan rakyat tak lagi dinomor satukan.

B.     Penguasa Dzalim Budak Kapitalisme
Kedzaliman rezim saat ini jelas nampak di hadapan rakyat.  Bagai putus urat malu, hari demi hari wajah asli pemerintahan semakin kentara. Rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu saja, selebihnya tak lagi diperlukan. Padahal sang pengusa mengaku berasal dari partai pembela ‘wong cilik’ tapi faktanya ‘wong licik’. Janji manis sebelum berkuasa berbeda 180 derajat saat setelah menjadi penguasa.
Sekali lagi itu menunjukkan bahwa silih berganti rezim hanya sebatas mengganti kedok. Ibarat seseorang berganti baju, bajunya berbeda, badannya tetap sama. Penguasanya berbeda, tapi aktor besar dibalik layar tetap sama. Rezim hanya sebagai boneka penguasa yang sebenarnya saja. Sistem yang mengendalikan tetaplah sama. Sistem kapitalisme sebagai buah dari faham sekulerisme. Hal ini diperkuat oleh pernyataan presiden Jokowi sendiri yang mengatakan untuk memisahkan agama dengan negara. Bahkan menteri agamanya pun berujar untuk tak usah serius dalam beragama.
Asas kapitalisme adalah meraup sebanyak mungkin manfaat untuk keuntungannya sendiri. Segala cara dihalalkan untuk meraih kepentingannya. Di dunia politik maka dilakukan politik transaksi, tidak mengenal musuh abadi namun kepentingan abadi.
Pembubaran ormas dan penyudutan islam menunjukkan bahwa hakikat sebenarnya adalah untuk melenyapkan musuh politiknya. Apalagi pasca kegagalan menjadikan Ahok sebagai penguasa DKI, maka jangan sampai pilpres 2019 pun menuai kekalahan. Alhasil Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang selama ini dikenal umat sebagai ormas yang aktif mengkritik pemerintah sekaligus cikal bakal opini haram pemimpin kafir yang berujung pada kalahnya Ahok-lah yang mula-mula dijegal dakwahnya. Selain itu, penguasa berusaha menghentikan langkah ormas berpengaruh lainnya, semisal Front Pembela Islam (FPI) dengan memfitnah Ust. Habib Rizieq dengan kasus chat mesum. Media pun ikut andil dalam meraup jumlah suara pilpres nanti, salah duanya dengan memunculkan survei besarnya presentasi elektabilitas Jokowi bahkan dikatakan sebagai presiden yang paling dipercayai rakyat, serta berusaha mengaitkan polemik beras Maknyuss dengan seorang kader PKS untuk menurunkan performa partai islam tersebut.

C.    Kemerdekaan Semu
Berdasarkan fakta yang sudah banyak diuraikan sebelumnya, maka sangatlah wajar jika timbul pertanyaan, benarkah Negara Kesatuan Republik Indonesia telah merdeka? Sesuai pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa kemerdekaan yang menjadi hak seluruh bangsa adalah terhapusnya penjajahan. Tapi sejatinya bukan sekedar penjajahan fisik tapi disegala lini pun terbebas dari penjajahan tersebut. Faktanya, sampai saat ini Indonesia tak lepas dari penjajahan gaya baru. Neoimperialisme itu tidak lain dalam bidang politik, ekonomi, budaya bahkan di segala bidang.
Emha Ainun Nadjib atau lebih dikenal Cak Nun dalam tulisannya berjudul “Ketika Boneka Jadi Pemimpin” mengatakan bahwa Seorang pemimpin boneka tidak bisa benar-benar berkuasa, yang benar-benar berkuasa adalah botoh-botoh yang membiayainya. Setiap langkahnya dikendalikan oleh para botoh. Setiap keputusannya sudah dipaket oleh penguasa modal. Ia tidak bisa mandiri, karena dikepung oleh kelompok-kelompok yang juga saling berebut demi melaksanakan kepentingan masing-masing. Bahkan lebih jauh beliau menjelaskan pemimpin boneka tidak punya konsep tentang martabat manusia, harga diri Bangsa dan marwah Negara. Hanya mengerti perdagangan linier dan sepenggal, tidak paham perniagaan panjang yang ada lipatan dan rangkaian putarannya. Tidak memahami tanah dan akar kedaulatan, pertumbuhan pohon kemandirian, dengan time-line matangnya bunga dan bebuahannya. Pemimpin yang demikian membawa bangsanya berlaku sebagai pengemis yang melamar ke Rentenir.
Tengok saja kebijakan-kebijakan yang diambilnya, tak lepas dari bisikan-bisikan disekitarnya. Setiap kali ditanya rakyat, selalu berucap “tanya saja kepada menteri ini”, “tanya saja kepada menteri itu”, “saya hanya menandatangani”, dan sebagainya. Bahkan Pidato presiden yang mengatakan saatnya untuk membuka Fakultas Logistik, Packaging, dan Green Building juga menunjukan ketidak mandiriannya, dan hanya manut pada teks pidato yang sudah disediakan saja.
Terus bertumpu pada hutang, pencabutan subsidi, penerapan tax amnesty, semakin terbuka lebarnya keran investasi asing dan sikap membebeknya terhadap war on terrorism menunjukkan bahwa bangsa ini tak hanya sedang dijajah oleh partai, tapi juga oleh Asing dan Aseng.

D.    Makna Kemerdekaan Hakiki
Syaikh Taqiyudin Anhabani dalam kitabnya yang berjudul Nidzamul Islam menjelaskan bahwa masyarakat adalah sekumpulan individu yang terus berinteraksi dan memiliki pemikiran, perasaan dan peraturan yang sama. Beliau pun menjelaskan bahwa bangkitnya seseorang adalah karena pemikirannya. Pemikiran yang dimaksud adalah pemikiran mustanir atau cemerlang sebagai buah dari pemikiran yang mendalam dan dikaitkan dengan hakikat penciptaan. Sehingga, untuk membangkitkan sebuah bangsa perlu ada kebangkitan berfikir dari individunya hingga berujung pada Tuhan sebagai penciptanya. Pemikiran itu adalah aqidah islam, yang didalamnya memancarkan aturan yang sempurna. Oleh karena itu, kemerdekaan hakiki adalah kemerdekaan yang dilandasi oleh sistem ilahi, yaitu menerapkan syariat islam dalam bingkai daulah khilafah.
Tujuan dari penerapan sistem islam, bukan hanya kebangkitan semu sebagaimana Amerika yang kuat dalam militernya, atau Jepang yang bangkit dengan teknologinya, atau Cina yang maju dalam ekonominya. Tapi untuk mendapatkan ridho dan rahmat Allah subhanahu wata’ala yang kemudian akan menghasilkan pada kesejahteraan duniawi tidak hanya untuk satu negara tertentu, tapi untuk seluruh dunia, tidak hanya rahmatan lil muslimin, tapi rahmatan lil’alamin, untuk alam semesta, manusia, bahkan untuk bangsa jin.

E.     Jalan Menuju Kemerdekaan Hakiki
Kemerdekaan hakiki dengan menegakkan daulah khilafah tidaklah mudah. Penuh onak dan duri, banyak tantangan dan rintangan, tekanan dan goncangan. Namun, Allah sebagai Pencipta Manusia tidak lah memberikan kewajiban diluar batas kemampuan hambanya. Mewujudkan Khilafah akan terealisasi karena sejarah sudah membuktikan dan yang dulu memperjuangkan adalah pun manusia, Rasulullah saw.
Oleh karena itu, jalan menuju kemerdekaan hakiki hanya mampu dituju dengan mencontoh uswah terbaik kita, mengikuti thariqoh yang sudah ditetapkannya dan tetap istiqomah dijalannya. Thariqoh itu berupa pembinaan islam, interaksi atau dakwah dengan ummat, tholabun nusroh dan penerapan islam dalam kekuasaan. Jalan dakwah yang diambil pun tidak dengan kekerasan, harus komprehensif, berpolitik dan berstrategi.
Semoga, dengan kita terus istiqomah mengikuti jalan yang sudah ditetapkan, tidak tergesa-gesa dalam meraih tujuan, bersatu dalam hizb yang memiliki fiqroh yang lurus dan thoriqoh yang jelas bisa menghantarkan kita pada kemerdekaan hakiki yang telah dijanjikan. Ingatlah, semakin pekat malam, tanda fajar akan menyingsing. Kemenangan itu semakin dekat bahkan lebih dekat dari urat nadi. Wallohu’alam[]


Kamis, 18 Juli 2019


Indeks Kebahagiaan Kota Bandung Meningkat : Bukti Sukses Kepemimpinan Sang Walikota?

Pendahuluan
Melalui akun facebook pada 29 Desember 2015, Walikota Bandung Ridwan Kamil mengumumkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Departemen Statistika Unpad tentang indeks kebahagiaan (IK) warga kota Bandung tahun 2015. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa di tahun 2015 nilai IK  kota Bandung mengalami peningkatan menjadi 70,60 yang pada tahun 2014 hanya sebesar 68,23. Jika menggunakan standar perhitungan yang dilakukan oleh Amerika maka nilainya lebih tinggi lagi, yaitu sebesar 74.
            Banyak tanggapan positif yang datang dari masyarakat Bandung akan prestasi yang diraih tersebut. Sehari setelah bapak walkot Bandung memposting berita tersebut, total sudah ada 8.647 orang yang memberikan like, 505 shares, dan 702 komentar. Bahkan beberapa komentar menunjukkan ketidak relaan masyarakat membiarkan walkot Ridwan Kamil untuk maju menjadi bakal calon gubernur Jakarta atau presiden RI di masa yang akan datang. Bahkan ada yang berkomentar agar RK menjadi gubernur Jawa Barat seumur hidup.

Indeks Kebahagiaan (Happines Index) Kota Bandung 2015
Pada    tahun 2015 Badan Perencana Pembangunan Daerah dan Kota Bandung bekerja sama dengan Labolaturium Quality Control Departemen Statistika Universitas Padjadjaran kembali melakukan pengukuran tingkat kebahagiaan penduduk Bandung. Responden Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) 2015 adalah kepala rumah tangga atau pasangannya dari 30 Kecamatan yang tersebar di seluruh wilayah administratif Kota Bandung. Prosentase berdasarkan kategori respoden adalah 59 % kepala rumah tangga, 47% berjenis kelamin wanita, 53% berjenis kelamin pria, 45,9% berpendidikan tamat SMA/SMK/MA dan sekitar 13% tamat perguruan tinggi.
Ada 10 variabel yang digunakan untuk menentukan IK, yaitu kesehatan, pendidikan, pekerjaan, pendapatan rumah tangga, kondisi keamanan, keharmonisan keluarga, hubungan sosial, kondisi rumah dan aset, kondisi lingkungan atau ketersediaan fasilitas publik, dan ketersediaan waktu luang. Kepala Bidang Litbang dan Statistik Bappeda Kota Bandung Chairul Anwar mengatakan bahwa level bahagia berada di angka 50-75, sangat bahagia di angka 75-100, level kurang bahagia 25-50 dan level tidak bahagia ada pada angka 0-25. Tabel 1 di bawah ini menunjukkan hasil penelitian dari 10 variabel tersebut.

Tabel 1 Ranking 10 Aspek Kehidupan, Nilai Indeks Kebahagiaan dan Bobot Kontribusinya (BK) terhadap Indeks Kebahagiaan (IK) Kota Bandung 2015

Berdasarkan karakteristik demografi dan ekonomi, ada beberapa penemuan yang menarik, yaitu:
a.       IK penduduk laki-laki relative lebih tinggi dibandingkan perempuan meskipun perbedaannya tidak signifikan (71,02 banding 71,01).
b.      Penduduk berstatus menikah memiliki IK tertinggi, yaitu sebesar 70,74. Sedang mereka yang berstatus belum menikah IKnya lebih rendah yaotu 68,62.
c.       Penduduk berumur 65 tahun ke atas memiliki IK tertinggi yakni sebesar 71,66, sementara penduduk berumur di bawah 24 tahun mempunyai IK sebesar 64,82.
d.      Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tinggi pula IK. Penduduk yang tamat SD/MI mempunyai IK paling rendah (67,80), sementara IK paling tinggi dimiliki oleh penduduk dengan tingkat pendidikan S2 dan S3 (77,45).
e.       Semakin tinggi rata-rata pendapatan rumah tangga, semakin tinggi pula IK. IK tertinggi dimiliki oleh tingkat pendapatan di atas 4,8 juta – 7,2 juta per bulan dengan IK mencapai 74,19 dan pada tingkat pendapatan di bawah 1,8 juta per bulan IKnya sebesar 69,04.

Sepak Terjang Kinerja Walikota Bandung
            Sejak awal terpilih, Walikota Bandung Ridwan Kamil telah mencanangkan salah satu program kerjanya adalah membangun sebanyak mungkin ruang publik. Konsep ini dilatarbelakangi oleh target pembangunan kota yang lebih bertujuan meningkatkan nilai IK warga kota Bandung. Menurutnya, kondisi warga Bandung saat itu mengarah pada ciri kota yang sakit, dimana warganya enggan berinteraksi di luar rumah.
            Sebagai langkah awal kerjanya, di tahun 2014 Ridwan Kamil memerintahkan dilakukan survei IK warga Bandung yang dilaksanakan oleh Bappeda dan BPS Kota Bandung. Survei melibatkan 1.080 sampel dari berbagai kalangan warga dengan latar belakang berbeda serta dilakukan secara random. Menurut pengakuan Kepala Bidang Litbang dan Statistik Bappeda Kota Bandung Chairul Anwar, survei IK skala kota adalah yang pertama kali dilakukan, sebelumnya hanya dilakukan pemerintah nasional pada skala provinsi. Itu pun dirilis pertama kali di tahun 2013.
Salah satu yang dilakukan oleh Pemkot Bandung untuk meningkatkan IK warganya yaitu dengan membangun dan memperbaiki berbagai fasilitas yang dibutuhkan oleh warganya, salah satunya taman-taman kota, fasilitas pelayanan umum hingga tempat hiburan.
Namun, karena persoalan APBD Bandung yang ‘pas-pasan’, maka secara kreatif diselesaikan dengan mencari sumber pembiayaan lain. Oleh karena itu, Ridwan menerapkan model kepemimpinan proactive governance. Proactive governance, merupakan model kepemimpinan di mana pemerintah secara aktif meriset di mana ada sumber bantuan dan mendatangi sumber bantuan tersebut. Bandung kemudian menyasar pembiayaan Public Private Partnership dan dana CSR (Corporate Social Responsibility) beberapa perusahaan besar baik nasional maupun multinasional. Bahkan demi mengejar dana CSR ini, walikota rela terbang menjemput bola ke berbagai Negara. Menurut Ridwan Kamil, di luar sana banyak perusahaan multinasional yang kebingungan mengucurkan dana CSR mereka. Inilah peluang yang coba ditangkap oleh kota Bandung.
Salah satu SKPD di Pemkot Bandung yang cukup banyak menerima CSR dan sumbangan pihak ketiga, yaitu Dinas Pemakaman dan Pertamanan (Diskamtam) Kota Bandung. Untuk tahun 2015 saja, bantuan pihak ketiga lebih pada renovasi taman. Setidaknya ada enam taman yang direvitalisasi atas bantuan pihak ketiga, yaitu Taman Vanda (Summarecon), taman Capital of Asia Afrika di Jln. Dr Djunjunan (Mandiri/Telkom), taman di Jln. Dr Djunjunan (BJB), Taman Alun-alun (BII), Taman Alun-alun Ujung Berung (Grup Istana dan Perusahaan lain), Taman Gesit di Jln. Dipatiukur (Produk Minuman) serta taman di dekat Simpang Lima (pengusaha hotel).
Selain itu, upaya yang telah Ridwan Kamil lakukan ialah mendapatkan dana hibah dari Belanda sebesar 4,6 juta Euro atau sekitar Rp 70 miliar untuk membenahi air di Kota Bandung, sumbangan road safety dari Yayasan Bloomberg, Amerika, bantuan sekolah PNS dan smart city dari Singapura, hingga bantuan capacity building smart city dan dua biodigester raksasa dari Jepang.

Walikota dan The City Mayor Foundation (CMF)
            Pada tahun 2003 berdiri sebuah organisasi filantropi internasional yang bernama The City Mayor Foundation (CMF). Di gagas Tann vom Hove (UK/Germany), Ruth Maguire (UK), Guy Kervella (UK/France), Nick Swift (Canada) dan Josh Fecht (USA). CMF Memiliki Web yang terdaftar sejak 2 oktober 2003 menggunakan server dari Amerika serikat. 
CMF adalah think tank internasional dalam urusan perkotaan. Dengan dalih penelitian dan kepedulian dalam masalah urbanisasi perkotaan, CMF mengatur proyek wali kota dan setiap 2 tahun sekali memberikan penghargaan walikota dunia (World Mayor Prize) bagi yang berprestasi.
Proyek ini bertujuan untuk menunjukkan  walikota yang luar biasa yang dapat mencapai dan meningkatkan profil mereka secara nasional dan internasional. Penyelenggara mencari pemimpin kota yang unggul dalam kualitas seperti: kepemimpinan dan visi, kemampuan manajemen dan integritas, kepedulian sosial dan ekonomi, kemampuan untuk memberikan keamanan dan untuk melindungi lingkungan serta kemauan dan kemampuan untuk mendorong hubungan baik antara masyarakat dari latar belakang budaya, ras dan sosial yang berbeda. Walikota dari Indonesia yang pernah dan sedang masuk dalam kandidat walikota dunia adalah Jokowi, Tri Risma Harini dan Ridwan Kamil.
Melalui konsep internasionalnya CMF  memanfaatkan psikologi para kepala daerah untuk mengejar gengsi predikat walikota terbaik dunia. Para pemenang dari negara lain yang notabene dari Barat serta liberal menjadi prototipe untuk di’teladani’. Diantaranya mengikat para kandidat walikota dalam kode etik yang harus diikuti dan disepakati yang tercantum dalam 11 pasal sebagai berikut:
·         Pasal 1
Walikota menyiapkan kantor walikota untuk kebaikan bersama masyarakat mereka dan menahan diri dari tindakan yang dapat membahayakan masyarakat lain atau dunia yang lebih luas. Mereka harus mengambil tanggung jawab penuh atas setiap tindakan yang dilakukan oleh mereka sendiri atau oleh anggota pemerintahan mereka.
·         Pasal 2
Walikota tidak akan melakukan diskriminasi terhadap individu atau kelompok secara politik, ras, agama, jenis kelamin, cacat atau orientasi seksual.
·         Pasal 3
Walikota mendukung dan menjunjung letter of intent (dokumen perjanjian) dari hukum kota dan bangsa mereka serta hukum internasional yang relevan. Mereka akan menuntut tingkat yang sama menghormati hukum dari semua anggota pemerintahan mereka.
·         Pasal 4
Walikota harus bebas untuk menentang hukum kota dan bangsa mereka di mana undang-undang tersebut bertentangan dengan Deklarasi Universal PBB tentang Hak Asasi Manusia.
·         Pasal 5
Walikota mengelola sumber daya publik untuk kepentingan publik masyarakat mereka dan memperhitungkan apakah penggunaan tersebut dapat menyebabkan kerusakan yang tidak masuk akal bagi masyarakat lain dan dunia yang lebih luas.
·         Pasal 6
Walikota tidak akan pernah menggunakan posisi resmi mereka untuk mengamankan hak atau keuntungan untuk diri mereka sendiri, anggota keluarga mereka, teman-teman, kolega atau orang lain.
·         Pasal 7
Walikota tidak diperkenankan melakukan tindakan resmi di mana keterlibatan keuangan atau pribadi langsung atau tidak langsung dapat diperkirakan mungkin merugikan objektivitas atau independensi penilaian mereka. Mereka akan menuntut tingkat yang sama ketidakberpihakan dari semua anggota pemerintahan mereka.
·         Pasal 8
Walikota tidak menerima hadiah atau penawaran berdasarkan pemahaman, dinyatakan atau tersirat, bahwa mereka diberikan untuk mempengaruhi mereka dalam melaksanakan tugas-tugas publik mereka. Mereka akan menuntut tingkat yang sama kejujuran dari semua anggota pemerintahan mereka.
·         Pasal 9
Walikota harus terbuka untuk pengawasan publik dari tindakan resmi mereka dan orang-orang dari staf mereka, termasuk hubungan mereka, kontrak dan sebaliknya, dengan vendor, konsultan, dan rekan bisnis. Walikota wajib melaporkan setiap tindakan yang tidak benar mereka menyaksikan, seperti suap, suap, dan menawarkan hadiah.
·         Pasal 10
Walikota akan bekerja untuk memperkuat masyarakat sipil dengan meningkatkan kesadaran publik, dan keyakinan, kegiatan pemerintah kota mereka.
·         Pasal 11
Walikota akan menggunakan pengaruh mereka untuk mempromosikan kerjasama dan niat baik antar kota, nasional dan internasional.

Dampak kebijakan pembangunan kota Bandung yang berbasis IK dan CMF
            Melihat sepak terjang walikota Bandung dengan keseriusannya menaikan IK sejak awal kepemimpinannya serta berjibakunya dalam mengejar dana CSR menunjukkan bahwa arah kebijakan walikota Bandung senada dengan yang dirancang oleh CMF. Prestasi-prestasi yang diraih di kancah Internasional seperti kesempatan untuk berpidato di depan 500 wali kota seluruh dunia pada Juni 2014, menjadi pembicara ketiga dari dua pembicara lainnya (Presiden RRC Xi Jinping dan Direktur Eksekutif UN-Habitat, Juan Carlos) di sebuah forum dunia yang membahas tentang inovasi kota, dan pernah diwawancarai oleh Wall Street Journal, Al Jazeera dan New York Time untuk konsep kolaborasi yang dilakukannya merupakan ‘reward’ untuk menaikan citranya di mata masyarakat.
            Namun, segala sesuatu tentu ada konsekuensinya. Kebijakan walokota Bandung yang searah dengan CMF ini menimbulkan beberapa dampak negatif terhadap kota Bandung. Pertama, dengan menggandeng Negara-negara Asing dan Perusahaan dalam pembangunan, akan semakin terjadi liberalisasi pada sektor ekonomi. Hal ini semakin terlihat dari program-program pemerintah yang erat hubungannya dengan swasta. Misalnya program Public Private Partnership yang meniru gaya Inggris, Smart City seperti Perancis, pelelangan pengelolaan lampu jalan kepada Tiongkok, India dan perusahaan lokal, dan proyek monorel Bandung yang menggandeng lima perusahaan Cina. Semakin banyak campur tangan Asing dan swasta terhadap pemerintahan, semakin besar peluang ‘pesanan kebijakan’ yang diinginkan.
            Kedua, liberalisasi pergaulan semakin terbuka lebar dengan pembangunan ruang publik yang tidak diperhatikan interaksi sosialnya. Penamaan-penamaan yang diberikan pada taman yang telah dibangun menunjukkan legalisasi pemerintah terhadap liberalisasi pergaulan ini. Misalnya Taman Jomblo, Taman Skate, Taman Film, Taman Musik Centrum, Taman Gembok Cinta, dan lain-lain. Masyarakat difasilitasi untuk melakukan hubungan sosial dengan  interaksi yang tidak syar’i. Parahnya, hal ini pun semakin menjauhkan masyarakat dari masalah utamanya dengan hanya melepas penat duduk-duduk di taman. Kaula muda pun semakin jauh dari sikap kritis dan perjuangan karena fasilitas hiburan terlalu menggiurkan.
            Ketiga, adanya iklan-iklan pemerintah dengan model utama mojang-mojang cantik Bandung menunjukkan arah eksploitasi perempuan. Ini terjadi karena kebijkan pemerintah mengarah pada ‘kebutuhan’ pasar, sehingga segala hal yang memudahkan pemerintah akan dilakukan. Keempat, pemerintah dengan suka rela menyambut penjajahan ekonomi dengan berpartisipasi aktif dalam MEA. Misalnya dengan melakukan kerjasama dengan pihak Bank untuk mempermudah kelompok pedagang kecil memperoleh pinjaman. Kelima, pencitraan sosok pemimpin dalam bidang ramah kearifan lokal dan religius seolah menjadi alasan  keharusan dalam menjunjung tinggi HAM. Padahal  konsep HAM merupakan konsep yang absurd serta tidak sesuai dengan fitrah manusia. Misalnya saja pada kasus LGBT, walikota Bandung memberikan statement  bahwa  LGBT tidak masalah jika masih menyangkut ruang pribadi. Keenam, pemerintah serius memberikan penanganan pada tindak terorisme yang tidak lain adalah islam.
           
Kebahagiaan Hakiki dan Peran Kepala Daerah dalam Islam
Indikator keberhasilan pemimpin daerah terus bergeser, sesuai dengan bergesernya fungsi kepemimpinan dalam terminologi  kepemimpinan sekuler. Dulu fungsi kepemimpinan masih dipandang sebagai pengurus, penyedia kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat, maka dibuat indikator IPM dan MDG’s. Seiring dengan bergesernya fungsi kepemimpinan yang hanya jadi fasilitator, wasit yang mengawasi pertarungan bebas masyarakatnya, maka tugas pemimpin lebih pada memfasilitasi keinginan dan kesenangan masyarakat. Maka Indeks Kebahagiaan dinilai paling tepat mewakili indikator keberhasilan kepemimpinan.
Jika kita amati, 10 indikator kebahagiaan yang digunakan dalam pengukuran IK merupakan pengukuran yang subyektif, berkaitan dengan persepsi seseorang memandang kebahagiaan, bukan pengukuran yang objektif. Misalnya saja, pada kasus hasil IK provinsi Maluku yang berada pada posisi kedua teratas di level nasional ternyata di sisi lain Maluku menjadi empat provinsi termiskin di nasional.

Bagan 1 Siklus Neoimprealisme dan Neoliberalisme


Kebahagiaan yang hakiki bukan hanya sekedar kesenangan, serta kepuasan pemenuhan jasmani saja. Kebahagiaan dalam islam adalah perasaan tentram saat ia menjalankan ketaatan secara total untuk mencapai ridha Allah, bukan sekedar madaniyah, tapi termasuk pada hadlarah yaitu cara pandang terhadap kehidupan yang tidak bisa diadopsi dari sistem lain selain sistem islam. Haram hukumnya mengambil, mengimplementasikan hingga mempromosikan atau merasa bangga dengan definisi kebahagiaan selain dari islam. Maka, dalam islam kebahagiaan diukur tidak hanya dengan fisik, tapi juga nonfisik. Misalnya seperti yang disebutkan oleh seorang sahabat Rasulullah, Ibnu Abbas, tentang  tujuh indikator kebahagiaan dunia, yaitu qalbun syakirun atau hati yang selalu bersyukur, al azwaju shalihah, yaitu pasangan hidup yang sholeh, al auladun abrar, yaitu anak yang soleh, albiatu  sholihah, yaitu lingkungan yang kondusif untuk iman kita, al malul halal, atau harta yang halal, Tafakuh fi dien, atau semangat untuk memahami agama, serta umur yang baroqah. Identifikasi tingkat kebahagiaan dalam islam pun tidak diukur dengan metode sampling sebagaimana yang dilakukan dalam survei IK saat ini, tapi dilakukan terhadap perorangan, karena wajib hukumnya bagi pengasa untuk memastikan kebutuhan fisik maupun nonfisik setiap kepala perkepala masyarakatnya. Maka selayaknya segala urusan dunia harus seiring dan sejalan dengan hukum yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta.
Oleh karena itu, islam memandang bahwa kepempinan itu memiliki fungsi ra’in (pelayan), untuk memberi kecukupan, kesejahteraan  bagi rakyatnya. Selain juga fungsi junnah (perisai) penjaga dan pelindung aqidah, keamanan dan kehormatan rakyatnya. Pemimpin juga menjalankan fungsi tathbiq wa tanfidz (menerapkan dan melaksanakan) hukum syariat Islam, yang dengan fungsi itu agama, akal, jiwa, harta, kehormatan, keturunan, keamanan dan negara, terjamin akan terjaga. Jaminan penjagaan inilah yang akan menjadikan rakyat tenang, tenteram dan bahagia.
Prinsip dasar pembangunan dalam syariah Islam adalah untuk melakukan ri’ayatusy syu’unil ummat, memelihara urusan dan kepentingan rakyat. Hal itu menjadi tugas dan kewajiban penguasa, pejabat dan seluruh aparatur negara. Dalam Islam penguasa harus bertindak layaknya pelayan yang siap melayani rakyat dengan sebaik-baiknya. Pemahaman atas paradigma itu tercermin dalam nasihat Imam Hasan al-Bashri kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz; “Pemimpin adil itu wahai Amirul Mukminin, seperti seorang ibu yang penuh kasih sayang terhadap anaknya, mengandungnya dengan susah payah, menjaganya saat kecil, terjaga ketika anaknya terjaga, diam ketika anaknya sudah terlelap. Sesekali ia menyusuinya dan lain waktu menyapihnya. Bergembira akan kesihatan anaknya dan berduka ketika anaknya sakit.”
Dalam melaksanakan pembangunan daerah, pemerintah pun menjadikan  dana dari baitul mal sebagai sumber utama pendanaanya, tidak membuka keran investasi pada swasta. Pembangunan kota selain membangun aspek materi juga disertai dengan pembangunan peradaban (hadlaroh) yg memiliki landasan akidah Islam.

Penutup
Sesungguhnya konsep IK telah berhasil menghasilkan kabutisasi sehingga terkesan semua elemen memberikan dukungan. Hal ini kemudian memberatkan lisan dan langkah dalam da’wah. Konsep Kebahagiaan terpenjara paradigma dagang. Polesan produk agar pelanggan lebih loyal dan tidak beralih ke yang lain (menutup sistem baru/Islam). Jika sudah bahagia mau apa lagi? IK pun menjadi dalih masyarakat tak bisa mengkritik pemerintah. Oleh karena itu kita sebagai pengemban dakwah harus kembali memahamkan kepada umat tantang makna kebahagiaan yang hakiki. Sadarkan umat bahwa label IK yang sekarang kita peroleh adalah ilusi, kebahagiaan kita yang hakiki adalah ketika kita hidup dalam naungan sistem islam dalam bingkai Khilafah ‘ala minhajinnubuwah.
Untuk memahamkan umat, maka perlu strategi dakwah yang jitu,kreatif dan inovatif. Tentu dimulai dari pemahaman para pengemban dakwah khilafah terhadap fakta di tengah umat secara komprehensip. Maka perlu untuk memperbanyak pendalaman fakta, tidak terjebak dengan ‘hasil kerja’ fisik semata. Kita perlu mengungkapkan kepada umat tentang data dan fakta yang diabaikan penguasa, pendidikan, kesehatan, perekonomian dan sebagainya. In shaa Allah, rakyat Bandung yang pada dasarnya cerdas, kreatif dan hanif mudah menerima ide yang datangnya dari Sang Pencipta dan kemudian memperjuangkan bersama menuju Bandung barokah dengan islam Kaffah. Wallohu ‘alam bi ashowab[]


Sumber:
BPS Bandung: Indeks Kebahagiaan Kota Bandung 2015
BPS Bandung: Metodologi Pengukuran Indeks Kebahagiaan Kota Bandung
Rikeu Indah Mardiani, “The City Mayor Foundation: Upaya Semakin Meliberalisasi Walikota di Indonesia”
Berbagai artikel di media online.


Cari Blog Ini

Total Tayangan Halaman

Blogroll

About

Assalamu'alaikum.. Mencoba berbagi berbagai pemikiran yang disandarkan pada islam politis, sebagai sarana belajar mengasah kemampuan berpikir dan analisis politik dengan kerangka yang islami. Bebas share dengan dicantumkan sumber referensinya. Semoga bermanfaat :) Wassalam..

Popular Posts

Blog Archive