Sumber: Liputan6.com |
Wacana pindahnya
ibu kota Indonesia kini mencuat kembali setelah sebelumnya masa pemerintahan
presiden Susiolo Bambang Yudhoyono gagal merealisasikan wacana tersebut.
Diyakini di era presiden Joko Widodo lah pindahnya ibu kota Indonesia bisa
dilaksanakan. Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar
meyakini hal itu karena gaya kepemimpinan presiden sekarang yang sederhana dan
merakyat. Beliau berkelakar bahwa dengan gaya presiden yang sederhana itu pasti
siap untuk berkantor di Palangkaraya meski belum ada Istana Presiden di sana,
bahkan meskipun harus meminjam rumah orang dulu.
Memang,
pindahnya suatu ibu kota Negara bukan hal yang aneh. Indonesia sendiri
sepanjang berdirinya sudah mengalami dua kali pemindahan ibu kota, dari Jakarta
ke Yogyakarta (1946), dan dari Yogyakarta ke Bukittinggi (1948) lalu ke Jakarta
kambali. Di Negara lain juga sudah banyak yang pernah memindahkan ibu kota
negaranya, seperti Perancis, Jerman, Rusia bahkan Amerika. Tidak hanya itu,
ribuan tahun lalu pun di masa pemerintahan kekhilafahan islam, ibu kota yang
berpindah-pindah menjadi suatu hal yang biasa. Mulai dari alasan politik,
ekonomi, budaya sampai alasan bencana alam. Lalu, apa alasan pemerintahan
sekarang berencana memindahkan ibu kota Jakarta?
Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro mengakui
alasan pertama dan paling utama adalah daya tampung Jakarta yang sudah
berlebih. Indikatornya bisa dilihat dari Jakarta sebagai kota metropolitan yang
identik dengan kemacetan. Masalah ini dinilai tidak bisa diselesaikan selain
dengan dipecahnya pusat perekonomian dan pemerintahan Indonesia yang semuanya
terpusat di Jakarta. Bahkan Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki mengakui
susah sekali membenahi kota Jakarta, perlu ongkos yang terlalu mahal, bukan
hanya biaya, tapi ongkos politik dan ongkos sosial.
Perlu dikritisi
benarkah pemindahan ibu kota Jakarta yang direncanakan akan dipindahkan ke
Palangkaraya ini adalah solusi permasalahan akut Jakarta selama ini? Mulai dari
kemacetan, kepadatan penduduk sampai dengan banjir? Jika kita perhatikan
penyebab utama permasalahan tersebut adalah adanya ketidakmerataan lapangan
pekerjaan yang selama ini hanya terpusat di Jakarta. Muhaimin Iskandar
memaparkan 85 persen perputaran uang yang ada terpusat di Jakarta dan perlu
dilakukan pemerataan pembangunan. Penduduk yang memadati Jakarta sebagian besar
bukan asli warga Jakarta. Mereka adalah kaum urban yang mencari keberuntungan
ekonomi di ibu kota. Hal ini bisa diliat dari ‘budaya’ mudik saat hari raya.
Bagaimana lengang dan sepinya Jakarta saat ditinggal mudik penduduknya. Selain
itu masalah infrastruktur yang tidak merata di seluruh pelosok Indonesia
menjadi alasan klasik perantauan besar ini.
Perlu menjadi
catatan bagi pemerintah bahwa pemerataan lapangan pekerjaan dan pembangunan
infrastruktur di seluruh wilayah negeri ini lah yang perlu menjadi perhatian.
Karena, jika permasalahan sistemik ini selesai, bukan hanya Jakarta saja yang
bisa dipecahkan permasalahannya, tapi diseluruh wilayah Indonesia lainnya akan
terselesaikan. Tentu jauh lebih mengakar lagi kita perlu merenungkan tentang
efektifitas sistem perekonomian Indoesia yang kapitalis liberalis ini. Karena,
banyak permasalahan lain yang muncul dari penerapan sistem lemah buatan manusia
ini. Sudah saatnya kita kembalikan segala urusan kita kepada Sang Maha
Pencipta, itu lah solusi dari segala permasalahan yang ada.
Wallohu’alam bi
ashowab[]
0 komentar:
Posting Komentar