Sumber halodunia.net |
Pendahuluan
Masih
segar dalam ingatan, November 2016 kemarin terbentuk sejarah baru di mana
jutaan kaum muslim turun ke jalan untuk menyampaikan asfirasi yang sama, yaitu
menuntut keadilan atas pelaku penistaan agama islam. Meski solusi revolusi yang
sempat tercetus masih dalam bingkai NKRI, tapi adanya momen ini tidak bisa
menepis fakta bahwa umat masih memiliki perasaan islami yang cukup besar. Di
satu sisi, entah teralihkan oleh isu 411 ataukah sengaja tidak dipopulerkan.pemberitaan
tentang World
Peace Forum (WPF) atau Forum Perdamaian Dunia tak
banyak muncul ke permukaan. WPF keenam kalinya itu diadakan pada tanggal 1–4
November 2016 di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta.
WPF
merupakan agenda yang rutin dilakukan sekali dalam dua tahun. WPF tahun 2016
lalu mengangkat topik Countering Violent
Extremism: Human Dignity, Global Unjustice and Collective Responsibility, Penanggulangan
Ekstrimisme Kekerasan: Martabat Manusia, Ketidakadilan Global dan Tanggung
Jawab Kolektif. Ada sekitar 200 peserta dari 50 negara yang hadir, mereka
terdiri dari para pemuka agama, pembuat kebijakan, pakar, politikus, dan
aktifis dari berbagai belahan dunia. Forum tersebut telah membuat 11
rekomendasi, yaitu:1
1. Pemerintahan dan lembaga-lembaga
pemerintahan perlu terus menyediakan keamanan dan pembangunan ekonomi kepada
rakyatnya, menghormati hak-hak asasi manusia, menjamin kebebasan berpikir,
beragama dan berkeyakinan, dan menciptakan keamanan dan keselamatan untuk
melakukan isu-isu martabat manusia, ketidakadilan global dan tanggung jawab
kolektif.
2. Pemerintahan, organisasi masyarakat sipil
dan aktor-aktor non-negara perlu bersama-sama menciptakan kebijakan-kebijakan
komprehensif dan holistik untuk mencegah dan menolak ekstremisme kekerasan.
Menolak kekerasan ekstremisme menggunakan tindakan-tindakan efektif harus
diprioritaskan, alih-alih hanya menggunakan tindakan keamanan. Pemerintah juga
perlu berbagi dengan satu sama lain tentang strategi-strategi dan
program-program deradikalisasi dan reintegrasi.
3. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan
lembaga-lembaga internasional lain perlu memperkuat kerjasama yang telah ada
dengan lembaga-lembaga pemerintah dan organisasi masyarakat sipil dan perlu
memperjuangkan kerjasama baru ke depan untuk menolak kekerasan ekstremisme.
4. Dalam mempromosikan nilai-nilai keadilan,
perdamaian, dan kerukunan yang melandasi kohesi sosial dan kerja sama
antarkomunitas di suatu masyarakat, memberdayakan komunitas dan warga
perseorangan perlu menjadi prioritas tertinggi guna menguatkan posisi mereka
sebagai garda terdepan dalam menolak kekerasan ekstremisme.
5. Kaum perempuan dan lelaki harus menjadi
mitra setara dalam pembangunan dan implementasi strategi-strategi dan
tindakan-tindakan menolak kekerasan ekstremisme dan ketidakadilan global.
6. Pemerintahan, lembaga-lembaga sipil, dan
agama perlu mengembangkan strategi lebih banyak dan lebih tepat untuk
memberdayakan kaum perempuan melalui kesetaraan gender yang sejati dan
memberikan perlindungan terhadap anak-anak melalui perundangan dan penegakan
hukum menentang perbudakan anak, dan pencucian otak anak untuk mejadi serdadu
perang.
7. Pemimpin agama perlu mendukung pendidikan
agama yang mempromosikan nilai-nilai manusia dan resolusi konflik berkependekan
tanpa kekerasan.
8. Pesan-pesan menolak kekerasan ekstremisme
perlu dimasukkan ke dalam materi-materi pendidikan yang relevan melalui
peningkatan kurikulum, buku-buku ajar, dan pengembangan kemampuan serta
keterampilan para guru.
9. Perangkat media sosial perlu diperbaiki
untuk menjangkau pemudi-pemuda guna menyediakan pesan-pesan positif dan
inklusif untuk mencegah rekrutmen ekstremis dan untuk menyediakan narasi balik.
Kampanye media sosial perlu lebih diintensifkan untuk menolak pesan-pesan
kekerasan ekstrimisme dan untuk menghasilkan narasi perlawanan terhadap
propaganda kekerasan.
10. Media massa perlu didorong secara kuat
untuk menyediakan informasi obyektif dan faktual tanpa melebih-melebihkan, termasuk
melalui pendidikan lebih lanjut bagi para jurnalis agar dapat lebih paham
tentang kerangka religius dan penyebab konflik.
11. Pemerintahan dunia bersama dengan UNHCR
dan didukung oleh lembaga-lembaga sipil dan religius harus bekerja sama dalam
menerima, meyambut, dan menempatkan gelombang pengungsi dan pencari suaka agar
beban kesejahteraan para pengungsi tersebar di antara negara-negara di dunia.
CVE:
Pendekatan halus dari ‘War on Terror’
Sebenarnya,
WPF bukanlah satu-satunya agenda yang sengaja dibuat untuk menyudutkan ide
‘radikal’ terutama islam ideologi, sebelumnya telah dibuat agenda yang serupa
sebagai turunan dari CVE, yaitu “South
East Asia Counter-Narratives for Countering Violent Extremism (CVE)” yang
diselenggarakan oleh Hedayah dan Jakarta
Centre for Law Enforcement Cooperation (JC- LEC) di Semarang, Indonesia
pada bulan Maret 2016.2 CVE sendiri dirancang sejak 2011 dan pertama
kali dicetuskan di khalayak pada tahun 2015 oleh Department
of State and USAID Amerika Serikat pada agenda The
White House Summit to Countering Violent Extremism. Konsep 'melawan ekstremisme kekerasasan'
sejatinya menggantikan konsep 'war on
terror' dan deradikalisasi. Pergantian konsep ini dilakukan karena dianggap
oleh banyak kalangan bahwa konsep 'war on
terror' hanya akan menimbulkan "lingkaran setan" karena melawan
ekstremisme kekerasan dengan menggunakan cara perang. Dalam perkembangannya
terdapat pula istilah deradikalisasi sebagai pendekatan konvensional, namun
justru tidak efektif dan mulai ditinggalkan.3
Dalam
spektrum pendekatan anti-terorisme, strategi, kebijakan, dan program “lunak” atau
“preventif” yang mengidentifikasi dan memperdebatkan faktor-faktor “pendorong” dan
“penarik” dari radikalisasi dan rekrutmen disebut sebagai program dan kebijakan
“melawan ekstremisme brutal” atau “countering violent extremism” (CVE).2
Pada
Tebel 1. di bawah ini digambarkan
faktor pendorong dan penarik seseorang atau kelompok melakukan ekstrimisme
brutal di wilayah Asia Tenggara.
Tebel
1. Faktor-faktor Pendorong dan Penarik di Asia Tenggara
Sara
Zeiger (Agustus 2016) dalam tulisannya yang berjudul “Melemahkan Narasi Teroris
di Asia Tenggara, Sebuah Panduan Praktis” mengkategorikan jenis-jenis narasi
yang paling banyak digunakan oleh ekstremis brutal menjadi empat macam, yaitu
narasi religious atau ideologis, narasi politik, narasi sosial heroik dan
narasi ekonomi. Narasi religious atau
ideologis menggunakan konsep atau elemen religius atau ideologi sebagai
pembenaran bagi tujuan akhir organisasi teroris tersebut serta penggunaan kekerasan
untuk mencapai tujuan tersebut. Contoh dari kelompok ini seperti Jemaah
Islamiyyah, Al-Qaeda, Majelis Syura Mujahidin di Thailand dan Abu Sayef Group
(ASG) di Filipina.
Narasi
politik mengandung elemen-elemen yang memiliki tujuan politik seperti perubahan
pemerintahan, struktur negara baru, atau pembentukan sistem hukum yang baru.
Contoh kelompok ini misalnya Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Indonesia dan
ISIS. Kategorisasi narasi berikutnya yang digunakan oleh ekstremis brutal
adalah narasi sosial/heroik atau narasi sosio-psikologis. Narasi jenis ini
berfokus pada kultus tindak kekerasan, termasuk terorisme, serta para
pelakunya. Narasi jenis ini juga menghubungkan mereka secara langsung dengan
penderitaan. Terakhir, walaupun barangkali tidak banyak ditemui di seluruh
bagian Asia Tenggara, adalah narasi ekonomi. Dalam kasus ini, ekstremis brutal
secara langsung atau tidak langsung mengatakan bahwa dengan bergabung dengan
organisasi tersebut, kemerdekaan ekonomi akan dapat diraih.
Dari
identifikasi yang dilakukan oleh Sara Zeiger di atas jelas menunjukkan bahwa CVE
hakikatnya mentargetkan sama dengan agenda ‘war
on terror’ , yaitu kelompok-kelompok islam radikal yang menginginkan
perubahan dengan menggunakan aturan islam. Meskipun hal tersebut dibantah oleh
beberapa kalangan, namun Faiza Patel dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul ‘Countering Violent Extremism: Myths and
Fact’ mengatakan bahwa sebuah mitos jika CVE tidak ditargetkan untuk
muslim.4
Hanya
saja, program CVE menggunakan pendekatan yang lebih ‘halus’ ketimbang konsep
sebelumnya. Program ini lebih difokuskan pada menyebarkan opini yang kontra
dengan kelompok-kelompok ‘terorisme’ dan dilancarkan secara massif melalui
media-media seperti TV, media cetak, dll.
Sebagai
contoh adalah Blog Kontra-ideologi 2. Blog
ini memuat berbagai macam penelitian mulai dari 1) sanggahan terhadap ideologi
Al-Qaeda dalam bahasa Melayu, Bahasa Inggris, dan bahasa Indonesia; 2)
penelitian tentang penentangan narasi ekstremis; 3) narasi spesifik menentang ideologi
pelaku bom Bali; 4) publikasi blog dan pemikiran melawan narasi Al
Qaeda. Lihat gambar pada lampiran 2 yang
menjabarkan studi kasus untuk penetapan tujuan tersebut.
Adapun
tujuan yang ingin dicapai dari CVE adalah kelompok-kelompok ekstremis brutal
dan individu yang akan mengancam warga AS, sekutu AS, dan kepentingan AS tidak
mampu untuk menarik anggota baru atau mengumpulkan dukungan untuk operasi
mereka di komunitas tertentu; dan pemerintah, organisasi multilateral, dan
masyarakat memiliki kapasitas kolektif untuk mencegah dan melawan individu dan
kelompok yang menjadi radikal dengan kekerasan.5
Ancaman
Bagi Keberlangsungan Dakwah Islam Ideologi
Seperti
yang sebelumnya telah dijelaskan, sejatinya CVE adalah kelanjutan dari WOT
bahkan bisa lebih berbahaya dari CVE, pasalnya dengan adanya program CVE akan
lebih mudah menyasar pihak-pihak yang baru diduga “ekstrimis”. Meskipun ada
banyak standar untuk menunjukkan sebuah tindakan sebagai tindakan teror,
radikal dan ekstrim, atau untuk menunjuk sebuah ajaran/pemahaman sebagai ajaran/pemahaman
mengandung terorisme, radikalisme dan ekstrimisme, namun narasi yang dimunculkan
menunjukkan ada gradasi yang sistemik dari fundamentalism ke radikalisme ke ekstrimisme
lalu terahir ke terorisme, sebagaimana yang ditulis oleh Prof. Nur Syam, M.Si.3
Sebagai
contoh, Penasehat Keamanan dan Kontraterorisme Dalam Negeri Gedung Putih, Lisa
Monaco, mengatakan bahwa perilaku konfrontatif pada anak-anak Amerika dapat
mengubah mereka menjadi teroris. Orang tua mungkin melihat perubahan mendadak
dalam hal kepribadian anak-anak mereka di rumah-menjadi konfrontatif, para
pemimpin agama mungkin melihat dugaan bentrokan karena perbedaan ideologi. Guru
mungkin mendengar seorang mahasiswa mengungkapkan minatnya bepergian ke zona
konflik di luar negeri. Atau teman-temannya mungkin melihat minat baru untuk
menonton atau berbagi materi kekerasan.6
Parahnya
lagi, CVE memuat ide adu domba terutama bagi kelompok-kelompok islam yang
memiliki perbedaan pemikiran dan argument. Hal ini teridentifikasi dari
strategi kontra-narasi yang dijabarkan oleh Sara Zeiger. Dia mengatakan bahwa
faktor pendorong dan penarik terkait
dengan konten dari kontra-narasi dan pembawa
pesan. Sebagai contoh, jika faktor pendorong utama adanya tidak ekstrimisme
adalah operasi militer negara-negara Barat, maka suatu negara Barat dengan kekuatan
militer adidaya bukanlah pembawa pesan yang efektif untuk target kelompok
tersebut. Maka, bisa dibayangkan jika yang menjadi target adalah kelompok islam
tertentu, maka untuk melancarkan program CVEnya akan dipilih pembawa pesan
dengan jalan pemikiran yang berbeda dengan kelompok islam tadi yang akan meng-counter opininya.
Upaya
Cerdas Pelaku Dakwah Ideologis
Bersungguh-sungguhnya
Barat mencari segala cara untuk menghambat tumbuhnya kebangkitan islam
ideologis bukanlah hal yang baru. Sejak zaman Rasulullah sampai keruntuhan
Khilafah Utsmaniyah kita melihat betapa musuh-musuh islam tidak pernah berdiam
diri melihat kebangkitan islam. Mereka terus berusaha untuk mengubah tatanan
kehidupan islam mulai dari hal besar sampai pada hal-hal terkecil. Rasulullah
pun telah mengabarkan dalam al-Qur’an dan assunnah bahwa mereka tidak akan
pernah ridho hingga kaum muslim mengikuti milah mereka.
Kita
pun tahu bahwa janji Allah pasti terjadi. Allah menjanjikan tegaknya khilafah
islam yang kedua melalui tangan-tangan muslim yang beriman dan berdakwah sesuai
dengan contoh Rasulullah. Namun meskipun demikian, tetap perlu kerja keras dan
kerja cerdas untuk menjemput pertolongan Allah dan merealisasikan kabar gembira
tersebut. Sehubungan dengan agenda CVE, maka para pengemban dakwah islam
ideologis harus bersungguh-sungguh untuk meningkatkan kesadaran politik dan
kecerdasan politiknya. Karena, tanpa kesadaran politik dan kecerdasan politik,
maka tidak akan terjadi gerak yang benar dari pengemban dakwahnya. Selain itu,
perlu untuk meningkatkan kapasitas agar cerdas menggunakan media sosial dalam
menyebarkan opini Islam. Jangan sampai karena keteledoran dalam menggunakan
media sosial menjadi boomerang bagi keberlangsungan dakwahnya. Apalagi dengan
gencarnya upaya pemerintah merancang UU ITE dan optimalisasi lembaga Badan
Cyber Nasional oleh pemerintah. Pengemban dakwah harus memahami bahwa
kecanggihan dan perkembangan teknologi tidak dapat menggantikan aktivitas
kontak langsung, bertemu bertatap muka dengan objek dakwahnya. Hal ini pun
perlu untuk memastikan dukungan, dan menilai pemikiran serta pemahaman
mad’unya.
Terakhir,
musuh islam membuat makar dan Allah lah sebaik-baik pembuat makar. Kita berdoa
semoga dibalik agenda musuh ini semakin membukakan mata dunia terutama
pengemban dakwah kelompok manapun bahwa kapitalisme tidak akan pernah
membiarkan islam kembali berjaya dan bertahta.
Hanya dengan metode yang satu, yaitu thoriqul
ummah dan khilafah sajalah cita-cita seluruh kaum muslim bahkan seluruh
manusia pada umumnya akan terealisasi. Wallohu’alam
bi ashowab[]
Referensi
1. Republika.com
2. Sara Zeiger (Agustus 2016), Melemahkan Narasi Teroris di Asia Tenggara,
Sebuah Panduan Praktis
3. dr. Estyningtias P (LS MHTI), CVE (Counter Violent Extr emism): Member
angus Ideologi Islam
4. Faiza Patel, Countering Violent Extremism: Myths and Fact
5. May, 2016. Department
of State & USAID Joint Strategy on Countering Violent Extremism
6. hizbut-tahrir.or.id
0 komentar:
Posting Komentar