A.
Hubungan
Indonesia-China dari Masa Ke Masa
Era Soekarno, tepatnya pada tahun 1950, menjadi tonggak
penting hubungan persahabatan Indonesia-China. Hubungan yang dijalin Indonesia
dengan China merupakan komitmen nyata kebijakan luar negeri Indonesia yang
bebas dan aktif, dalam konstelasi perang dingin kala itu. Hubungan kedua negara
terus menunjukkan perkembangan positif, dengan kehadiran Perdana Menteri
Tiongkok Zhou En Lai pada Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 18-25 April 1955. Indonesia
dan China pun sepakat untuk mempererat hubungan yang telah berjalan baik kala
itu, ditandai dengan ditandatanganinya perjanjian persahabatan serta
persetujuan kerja sama kebudayaan pada 1 April 1961. Dalam konteks hubungan
luar negeri yang lebih luas, Indonesia amat penting bagi China yang saat itu
bukan anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). China, bagi Indonesia,
juga tak kalah penting, apalagi setelah Indonesia memutuskan untuk keluar dari
PBB pada awal 1965. Keduanya menjalin suatu kemitraan dalam membangun
solidaritas di antara negara-negara New Emerging Forces (NEFO).
Pada 3 Juli 1990 kedua menlu China dan Indonesia era
Soeharto menandatangani Komunike Bersama "The Resumption of The Diplomatic between The Two Countries" di
Beijing, diikuti kunjungan Perdana Menteri Li Peng ke Indonesia sekaligus
menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman Pemulihan Hubungan Diplomatik
kedua negara pada 8 Agustus 1990. Normalisasi hubungan tersebut pasca kedua
negara membekukan hubungan pada 30 Oktober 1967, kemudian secara bertahap
membuka hubungan ASEAN dan China, hingga akhirnya pada 1996 China menjadi mitra
dialog penuh ASEAN.
Interaksi positif antara kedua negara pun dilanjutkan pada
era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Di masanya, Imlek ditetapkan sebagai
hari libur nasional, beragam atribut dan simbol berbau Tiongkok mulai
bermunculan di Nusantara. Gus Dur yang menetapkan Tiongkok sebagai negara
tujuan pertama lawatannya ke luar negeri setelah dilantik sebagai orang nomor satu
Indonesia, bahkan mengusulkan pembentukan poros Jakarta-Beijing-New Delhi.
"Tiongkok negara besar dengan
potensi kekuatan ekonomi yang besar. Jadi, kita justru rugi jika tidak
berhubungan dengan Tiongkok," katanya, tentang kunjungannya ke
Tiongkok pada 1-3 Desember 1999. Di era kepemimpinan Megawati kedua negara sepakat
membentuk forum energi yang merupakan payung investasi Tiongkok di Indonesia di
bidang energi. Salah satu realisasi dari kesepakatan itu adalah tender proyek
menyediaan LNG ke Propinsi Fujian yang didapatkan oleh Pemerintah Indonesia
dengan nilai tender US$ 8,5 billion pada tahun 2002. Proyek ini mulai beroperasi pada 2006 dan
akan menyuplai gas ke RRC selama 25 tahun.
Beberapa capaian yang sudah dirintis tersebut kemudian
dikelola lebih baik oleh Susilo Bambang Yudhoyono, dalam dua periode
kepemimpinannya. Dalam periode itu, dua perjanjian penting, monumen kedekatan
hubungan Indonesia-China ditandatangani yaitu Kemitraan Strategis pada 25 April
2005, yang kemudian ditingkatkan menjadi Kemitraan Strategis Komprehensif pada
Oktober 2013. Sejak itu hubungan politik, pertahanan, keamanan, ekonomi, dan
sosial-budaya kedua negara terus meningkat. Makin eratnya hubungan Indonesia-China
juga ditunjukkan kedua pihak pada forum internasional, semisal dalam penetapan Declaration of Conduct of Parties in The
South China Sea (DoC) pada 2002, termasuk dalam "Guidelines for The Implementation of DoC" pada 2011. Indonesia
dan China juga sepakat menandatangani protokol Southeast Asian Nuclear Weapon Free Zone (SEANWFZ) pada 2011.
Keduanya juga sepakat untuk menjadikan ASEAN sebagai the main driving force dalam pembentukan forum Pertemuan Tingkat
Tinggi Asia Timur.
B.
Peningkatan
Kerjasama Ekonomi Indonesia-China Era Jokowi
Di era
pemerintahan Jokowi, hubungan Indonesia-China kian erat, terutama di bidang
perekonomian. Ini bermula ketika Presiden Jokowi menandatangani Kerjasama
Strategis Menyeluruh (Comprehensive
Strategic Partnership) antara Indonesia dan China di Beijing (26/3/15).
Dalam perjanjian tersebut, berbagai hal disepakati, yaitu:
a) MoU
Kerjsama Ekonomi antara Menko Perekonomian RI dengan Komisi Nasional
Pembangunan dan Reformasi RRC;
b) MoU
Kerjasama Pembangunan Industri dan Infrastruktur antara Komisi Nasional
Pembangunan dan Reformasi RRC dengan Menteri BUMN;
c) MoU
Antara Menteri BUMN dengan Komisi Nasional Pembangunan dan Reformasi RRC Untuk
Proyek Pembangunan Kereta Cepat Jakarta – Bandung;
d) MoU
antara Badan SAR Nasional (BASARNAS) RI dengan Menteri Transportasi RRC;
e) Perjanjian
Kerjasama Antara Pemerintah RI dan RRT untuk pencegahan pajak berganda;
f) MoU
antara Lembaga Pengembangan Antariksa Nasional (LAPAN) dengan Badan Antariksa
Nasional RRC;
g) MoU
Kerjasama antara Menteri BUMN dengan China
Development Bank Corporation (CDBC)
Dalam pertemuan
lainnya, Pemerintah juga secara tegas menyatakan dukungan atas berbagai
kepentingan China di Indonesia. Ketika bertemu dengan Xi Jinping di Jakarta
(22/4/15), Jokowi juga mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia siap memperluas
kerjasama dengan China di berbagai bidang. Salah satunya adalah
mengkolaborasikan rencana China “21st
Century Maritime Silk Road” dengan strategi pembangunan pemerintahan
Jokowi.Tiga Proyek China tersebut merupakan bagian dari ‘one road, one belt’
yang digagas Pemerintah China untuk membangunan infrastruktur laut dan darat
yang menghubungkan China dengan kawasan-kawasan di Asia hingga Eropa. Tujuannya
tidak lain adalah meningkatkan pengaruh politik dan ekonomi negara Tirai Bambu
di kawasan tersebut.
C.
Kebijakan
Investasi China Bumerang Bagi Indonesia
Sebagai follow up dari nota kesepakatan yang
telah dibuat, China semakin menggencarkan investasinya di Indonesia. Tiga bank
milik negara yaitu Bank Mandiri, BRI dan BNI, mendapatkan pinjaman senilai
total 3 miliar dolar AS dari China Development Bank (CDB) pada tanggal 16
September 2015. Masing-masing bank BUMN tersebut, menerima pinjaman sebesar
satu miliar dolar AS yang tiga puluh persennya dalam mata uang Renminbi dengan
jangka waktu 10 tahun. Tingkat bunga pinjaman tersebut sebesar 3,4% untuk mata
uang dolar AS dan 6,7% untuk mata uang Renminbi. Sebagian besar utang tersebut nantinya
akan digunakan untuk membiayai infrastruktur.
Selain CDB, bank
Cina lainnya, Industrial and Commercial
Bank of China (ICBC), juga memberikan pinjaman kepada BTN senilai 5 miliar
yuan atau sekitar Rp 10 triliun untuk membiayai perumahan dan infrastruktur.
ICBC juga memberikan utang senilai 500 juta dolar AS kepada Lembaga Pembiayaan
Ekspor Indonesia (Eximbank), untuk mendorong perdagangan luar negeri dan
pembangunan infrastruktur di Indonesia. Sebelumnya, pada bulan Juni, tujuh BUMN
yaitu: Wijaya Karya, Adhi Karya, Pelindo I & II, Angkasa Pura, Bukit Asam
dan Aneka Tambang juga telah mendapatkan komitmen utang dari CDB.
Di sela-sela
pelaksanaan Konferensi Asia Afrika di Jakarta (24/4/15), Pemerintah yang
diwakili oleh Menteri BUMN, Rini Sumarno, telah menandatangai MoU dengan
Pemerintah Cina melalui CDB dan ICBC. Kedua bank Cina tersebut akan memberikan
pinjaman senilai 50 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 700 triliun dengan
kurs 14 ribu. Utang tersebut akan digunakan untuk pembangunan proyek
infrastruktur nasional seperti pembangkit listrik, bandara, kereta cepat dan
kereta api ringan (light rail transit).
Namun, pepatah
‘tidak ada makan siang gratis’ tentu berlaku pada utang-utang yang diberikan
Cina. Pinjaman yang diberikan diikat dengan berbagai syarat seperti adanya
jaminan dalam bentuk aset, adanya imbal hasil seperti ekspor komoditas tertentu
ke Cina hingga kewajiban negara pengutang agar pengadaan peralatan dan jasa
teknis harus diimpor dari Cina. Mengutip riset yang diterbitkan oleh Rand Corporation, China’s Foreign Aid and
Government-Sponsored Investment Activities, disebutkan bahwa utang yang
diberikan oleh Cina mensyaratkan minimal 50 persen dari pinjaman tersebut
terkait dengan pembelian barang dari Cina.
Selain harus
membayar bunga yang relatif tinggi, juga disyaratkan agar BUMN Indonesia yang
menggarap proyek-proyek tersebut yang dibiayai oleh utang dari Cina harus
bekerjasama dengan BUMN negara itu. Dalam kasus pinjaman dari CDB kepada tiga
bank BUMN di atas, diakui oleh Dirut BRI dan Mandiri bahwa utang yang mereka
tandatangani baru akan cair jika proyek-poyek yang akan didanai oleh bank-bank
tersebut mendapat persetujuan CDB. Dengan kata lain, penggunaan utang itu harus
sesuai dengan kepentingan Cina.
Dalam skala kecil,
rakyat kembali disengsrakan karena harus bersaing ketat dengan tenaga buruh
China. Karena salah satu syarat yang sudah terlaksana dan disetujui oleh pemerintah
adalah bahwa pelaksanaan seluruh mega proyek Cina di mengharuskan tenaga
kerjanya didatangkan dari Cina. Tingginga ekspor barang dan komoditi dari China
pun menyebabkan daya saing usaha petani dan kelompok usaha Indonesia menurun.
D.
Adakah
dampak Penetrasi Ekonomi China di Indonesia Terhadap Pengaruh Ekonomi Amerika
di Indonesia?
Msih segar dalam ingatan, pada masa pemerintahan SBY terjadi
penyadapan komunikasi sejumlah petinggi Indonesia yang dilakukan oleh
Australia. Direktur Kajian Politik Center
for Indonesian National Policy Studies, Guspiabri Sumowigeno, menilai,
latar belakang Australia menyadap komunikasi tersebut karena kekhawatiran
mereka bahwa Indonesia akan "berpaling" kepada China. Padahal,
Barat (Amerika Serikat dan semua sekutunya di seluruh dunia) memiliki skenario
alias strategi besar membendung pengaruh China di mana-mana, yang dinamakan China
Containment.
Meski seteru secara langsung antara Amerika dan China di
Indonesia tidak nampak, namun gencarnya investasi yang dilakukan kedua negara
terhadap Indonesia menunjukkan persaingan antara keduanya. Ini sesuai dengan
pendapat Ichsanuddin Noorsy (pengamat ekonomi) dalam acara Halqoh Islam dan
Peradaban yang diselenggarakan oleh DPD 1 HTI Jateng pada Ahad (20/3) dengan
tema “Indonesia Dicaplok Cina”.
Beliau mengatakan bahwa Indonesia saat ini telah menjadi kancah
peperangan komoditi yang berbasis ideologi Kapitalisme antara dua negara ,
Amerika Serikat dan Cina.
Sama halnya dengan
China, Amerika Serikat yang sejak awal telah berideologi Kapitalis menjadikan
investasi sebagai strategi politiknya. Termasuk di dalamnya investasi terhadap
Indonesia. Seperti yang kita ketahui, Amerika sudah sangat erat hubungannya
dengan Indonesia sejak masa pemerintahan Soeharto. Ini bermula ketika
perusahaan asal Amerika Freeport menemukan potensi cadangan emas di Papua. Freeport
Indonesia sudah menjalankan aktivitas di tambang emas Garsberg, Papua sejak
1967. Tidak hanya Freeport Indonesia, Newmont Nusa Tenggara juga meraup untung
besar dari keberadaannya di Indonesia. Kontrak Karya Newmont di tambang Batu
Hijau dan Elang NTT, berlaku hingga 2030. Artinya, untuk jangka waktu yang
sangat panjang, perusahaan AS ini bakal menjalankan aktivitas tambangnya di
Indonesia.
Di sektor makanan,
PT Coca-Cola Amatil Indonesia, mencetak laba sebesar USD 459,9 juta atau
sekitar Rp 4,5 triliun. Laba Coca Cola tahun lalu naik 16,8 persen dibanding
2011. Tahun lalu, pendapatan perdagangan Coca-Cola Indonesia mencapai USD 5,09
miliar atau sekitar Rp 49,6 triliun. Naik 10,3 persen dibanding pada 2011.
Kenaikan penjualan tahun lalu tidak lepas dari tingginya permintaan pasar dalam
negeri.
Di sektor minyak,
pertambangan dan energi, Chevron Corp sudah tidak asing lagi. Di Indonesia,
Chevron juga mengelola sejumlah ladang minyak dan gas melalui PT Chevron
Pacific Indonesia. Perusahaan yang menginduk ke Amerika Serikat ini menjadi
penguasa produksi migas di Indonesia. Sebagian besar usaha kegiatan hulu migas
dikuasai Chevron. Perusahaan berbendera AS ini menguasai 47 persen produksi
migas nasional. Sebesar 37 persennya dikuasai swasta dan asing lainnya. Selain
Chevron, Exxonmobil juga menandatangani Kontrak Kerja Sama (KKS) migas dengan
pemerintah Indonesia pada tahun 2005. Exxon telah memulai bisnis di sektor gas
di daerah Nanggroe Aceh Darussalam bekerjasama dengan Pertamina. Selain
memproduksi gas, Exxon juga berperan dalam produksi LNG di kilang gas pertama
Indonesia di Arun di pantai timur Sumatera.
Kepala Grup
Ekonomi Departemen Kebijakan Ekonomi Bank Indonesia (BI) Yoga Affandi
menyatakan, China dan Amerika Serikat sama-sama memberi pengaruh yang besar
terhadap perekonomian Indonesia. Namun, pengaruh Amerika tetap lebih kuat
ketimbang China. Hal ini disebabkan karena Indonesia memandang China sebagai tujuan
utama ekspor barang-barang, termasuk komoditas. Ekspor ke China meningkat
dengan cepat, baik dalam aspek volume maupun nilai. Ekspor Indonesia ke China
umumnya komoditas mentah. Inilah mengapa ketika China mengalami perlambatan
ekonomi, maka impor menjadi terbatas. Selain itu, pengaruh China ke Indonesia
lebih menentukan tender-tender infrastruktur manasajakah yang akan dilakukan,
peralatan dan bahan apa yang akan digunakan, serta siapa yang akan di pekerjakan.
Hal ini sebagai konsekuensi dari investasi bank-bank China terhadap Indonesia.
Sementara itu,
pengaruh AS kepada Indonesia lebih kepada kebijakan perundang-undangan ekonomi
dan kanal finansial. Dalam hal kebijakan, Indonesia masih terikat atas
konsekuensi hutangnya terhadap World Bank
dan IMF yang mengharuskan Indonesia mengurangi secara bertahap subsidi
negara hingga tidak ada lagi subsidi. Salah satunya terlihat dari kebijakan
pengurangan subsidi listrik dan BBM yang nyata dilakukan oleh presiden Jokowi
sejak awal pemerintahannya. Sedangkan pengaruh dalam kanal finansial terjadi
akibat transaksi maupun dana yang masuk ke Indonesia dalam mata uang dollar AS.
Sehingga ketika The Fed membuat
kebijakan atau Yellen (Gubernur bank sentral AS Janet Yellen) bicara apa, maka
pasar uang global bergejolak, dan semua negara termasuk Indonesia kena dampaknya.
E.
Politik
Luar Negeri Khilafah
Sejak
kemerdekaannya, mentalitas Pemerintah Indonesia tidak pernah berubah, selalu
bergantung pada kekuatan asing untuk membangun negara ini. Terbukti ketika saat
ini Amerika dan China semakin mempererat cengkramannya, namun pemerintah tidak
memandang ini sebagai sebuah ancaman, namun dianggap sebagai peluang emas untuk
membangun negara. Pandangan ini akan terus bertahan selama Indonesia menjadikan
kapitalisme sebagai ideologinya. Politik luar negeri yang bebas aktif menjadi
legitimasi atas kerja sama yang selama ini dilakoni dengan pihak asing manapun
tanpa melihat posisinya sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim. Misal
saja hubungannya dengan China. Meski pemerintah China kian giat melakukan
diskriminasi terhadap warga muslimnya, bahkan yang terbaru sampai pelarangan
terhdap muslim Uighur untuk berpuasa di bulan Ramadhan, tetapi itu tidak
menghalangi jalannya kerjasama bilateral antara kedua negara. Padahal setiap
kerjasama dan perjanjian yang selama ini dilakukan cenderung merugikan
Indonesia. Indonesia terlilit oleh hutang dan riba. Kebijakan-kebijakan asing
selalu menekan dan mengaruskan arah kebijakan negara akibat dari ketidak mandiriannya.
Hal ini akan
berbeda jika Indonesia menjadikan islam sebagai ideologi dalam bernegara. Akidah
mejadi asas dalam bernegara. Aqidah Islam akan menjadi asas bagi seluruh bentuk
hubungan yang dijalankan oleh kaum muslim, menjadi pandangan hidup yang khas,
menjadi asas dalam menyingkirkan kezaliman dan menyelesaikan perselisihan,
menjadi asas dalam kegiatan ekonomi dan perdagangan, menjadi asas bagi
aktivitas dan kurikulum pendidikan, menjadi asas dalam membangun kekuatan
militer, serta menjadi asas dalam politik dalam dan luar negeri.
Tidak hanya itu,
Islam mewajibkan jihad fi sabilillah
untuk menyebarluaskan Islam kepada seluruh umat manusia. Sabda Rasulullah saw.:
“Aku telah diperintahkan
untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan Laa ilaha illa Allah Muhammad
Rasulullah. Apabila mereka mengakuinya, maka darah dan harta mereka terpilihara
dariku, kecuali dengan yang hak, jika melanggar syara”.
Islam telah
membagi dunia ini atas dua kategori, yaitu Darul Islam dan Darul Kufur atau
Darul Harb. Darul Islam adalah wilayah atau negeri yang di dalamnya diterapkan
sistem hukum Islam dan keamanannya diberlakukan keamanan Islam. Sebaliknya,
Darul Kufur adalah wilayah atau negeri yang di dalamnya diterapkan sistem hukum
kufur dan keamanannya bukan menggunakan sistem keamanan Islam, meskipun mayoritas
penduduknya adalah muslim. Darul kufur terbagi menjadi dua, yaitu kafir harbi
hukman dan kafir harbi fi’lan. Oleh karena itu, dalam menjalankan politik luar
negerinya, negara Khilafah akan memperhatikan status dari negara yang akan melakukan
hubungan dengannya. Jika statusnya kafir harbi hukman, maka Khilafah
bisamelakukan kerjasama bilateral dengan catatan tidak merugikan kaum muslim
dan akan memudahkan dalam dakwah dan jihad. Jika statusnya sebagai negara kafir
harbi fi’lan, tidak ada aktivitas lain selain gencatan senjata yang bersifat
temporer dan perang.
Begitulah politik
luar negeri Khilafah yang mandiri dan selalu berasaskan aqidah dalam setiap
tindak tanduknya. Oleh karena itu, tidak ada cara yang dapat ditempuh oleh Indonesia
untuk membebaskan negara ini dari utang dan cengkeraman kepentingan asing
kecuali dengan kembali menerapkan syariah Islam secara menyeluruh di bawah
institusi Khilafah Islam. Sistem tersebut nantinya akan menjadikan Indonesia
mampu menyelesaikan setiap probem negara termasuk ekonomi dan menjadikannya
sebagai negara adidaya baru yang mampu melawan kekuatan hegemoni negara lainnya.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []
Daftar Pustka
0 komentar:
Posting Komentar