Senin, 08 Juli 2019

Sumber: nasional.kompas.com
            Tidak dipungkiri, Indonesia tidak hanya menyajikan segudang kekayaan sumber daya alam namun dibaliknya juga mengandung potensi bencana yang cukup menakutkan. Tercatat sejak awal Januari hingga Maret 2018 ada 513 bencana di tanah air (news.detik.com). Posisi Indonesia yang berada di wilayah tropis serta kondisi hidrologis memicu terjadinya bencana alam lainnya, seperti angin puting beliung, hujan ekstrim, banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Di sisi lain, secara geologi, Indonesia memiliki 129 gunung api aktif, atau dikenal dengan ring of fire, serta terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif dunia: Lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik.[1] Hal ini mengakibatkan Indonesia rawan bencana kegempaan, baik yang sifatnya vulkanik maupun tektonik.
            Gempa yang diakibatkan oleh aktivitas tektonik biasanya lebih berdampak besar. Gempa baru-baru ini yang terjadi di Lombok dan Sulawesi Tengah adalah salahsatu contohnya. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan gempa berkekuatan 7 Skala Richter yang mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat pada Minggu (5/8) merupakan akibat dari pergerakan Sesar Naik Flores atau Flores Back Arc Thrust (tirto.id). Per tanggal satu September 2018, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menyebutkan ada 564 korban meninggal dan 1.584 orang luka-luka (nasional.kompas.com).
            Sama halnya dengan Lombok, gempa yang terjadi di Palu, Donggala dan Sigi pun disebabkan oleh aktivitas sesar geser Palu Koro. Sesar geser ini kemudian memicu longsor bawah laut. Ini terbukti dari keruhnya air laut ketika bencana ini datang. Kemungkinan ada material yang longsor di dasar laut, mengotori air dan terbawa ke daratan (republika.co.id). Korban dan kerusakan fasilitas gempa Sulawesi Tengah ini lebih parah dibandingkan dengan gempa Lombok. Tercatat per tanggal sepuluh Oktober 2018 ada sebanyak 2.045 korban meninggal dunia dan 10.679 orang luka-luka (liputan6.com). Perbedaan signifikan ini karena di Sulteng tidak hanya fenomena gempa saja, namun disusul oleh tsunami dan likuifaksi.

Pemerintah Gagap Menanggulangi Bencana 
            Gempa sebesar 7,7 Skala Richter (SR) mengguncang Palu dan sekitarnya pada Jum’at (28/09) menjelang waktu sholat magrib. Banyak dokumentasi berseliweran di media sosial menggambarkan dahsyatnya goncangan yang terjadi. Kurang dari semenit saja jalan raya yang tampak kokoh terpecah belah. Jembatan kuning yang menjadi icon kota Palu luluh lantah tinggal kenangan. Perkampungan dan fasilitas lainnya di sepanjang pesisir habis tersapu tsunami. Parahnya lagi, tiga desa ‘hilang’ ditelan bumi, Balaroa, Petobo dan Jono Oge.
             Di tengah gentingnya kondisi Palu tersebut, ternyata respon pemerintah kurang tanggap. Tiga hari paska bencana, pemerintah dan rombongan pejabatnya baru mendatangi lokasi untuk sekedar peninjauan semata. Meski dikatakan paska kejadian presiden langsung membentuk tim gerak melalui grup whatsapp, namun fakta dilapangan berbicara lain. Warga yang mengungsi di Bandara Mutiara Sis Aljufri di Kota Palu mengaku kelaparan belum mendapatkan pasokan makanan selama tiga hari. Padahal, bandara adalah tempat yang paling mudah untuk diakses oleh pemerintah. Bisa dibayangkan bagaimana nasib warga lain di daerah pelosok. Ditambah lagi dengan adanya penjegalan bantuan pangan di tengah perjalanan menunjukkan minimnya koordinasi pemerintah dengan pihak keamanan.
            Di hari ke tiga bencana pun terlihat antrian panjang masyarakat di SPBU. Pasokan BBM Palu terkendala rusaknya fasilitas SPBU dan rusaknya akses menuju lokasi akibat bencana. Aktivitas evakuasi ikut terhambat karena kelangkaan BBM ini. Di sisi lain, relawan kesehatan mengeluh karena saling lempar tugas pengurusan jenazah korban. Alhasil, halaman rumah sakit yang seharusnya bisa dioptimalkan untuk perawatan pasien terutama ketika ada gempa susulan terhambat karena banyaknya jenazah terabaikan yang bahkan sudah membusuk menyengat dan bisa menimbulkan wabah penyakit baru.
Tidak hanya itu, karut marut kondisi Palu terlihat ketika relawan ‘berebut’ transportasi dengan keluarga korban. Pesawat Hercules TNI yang diterbangkan ke Sulteng seolah mati kutu menghadapi paniknya korban gempa yang hendak mengungsi ke luar Palu, saling sikut dan tak bisa diarahkan. Desakan keluarga korban yang ngotot hendak mencari keluarganya yang terdampak gempa sampai-sampai tega berkata tidak membutuhkan bantuan relawan, nyatanya banyak dari mereka tidak kuat mental dan ingin kembali ke kampung halaman. Penjarahan barang-barang selain sandang pangan menambah miris keadaan. Namun di tengah serba-serbi itu pemerintah dengan percaya diri mengatakan bahwa Palu kembali bangkit dalam sepekan. Padahal tindakan pemerintah begitu reaktif, tidak proaktif.

Sistem Penanggulangan Bencana Indonesia
            Sejak terjadinya gempa bumi dan disusul tsunami yang menerjang Aceh dan sekitarnya pada tahun 2004, pemerintah Indonesia menyadari bahwa masalah kebencanaan harus ditangani secara serius. Maka, secara periodik, Indonesia membangun sistem nasional penanggulangan bencana.
Secara legislasi Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Dalam UU ini Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam  penyelenggaraan penanggulangan bencana. Setiap orang berhak mendapatkan pelindungan   sosial    dan   rasa    aman, khususnya bagi kelompok masyarakat rentan bencana, mendapatkan pendidikan,  pelatihan,  dan  ketrampilan dalam penyelenggaraan  penanggulangan bencana, mendapatkan informasi secara  tertulis dan/atau  lisan tentang kebijakan penanggulangan bencana, berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan program    penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan psikososial, berpartisipasi dalam pengambilan  keputusan  terhadap kegiatan   penanggulangan   bencana   khususnya   yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya dan melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas pelaksanaan penanggulangan bencana. Selain itu setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar, memperoleh  ganti  kerugian karena terkena bencana yang disebabkan oleh kegagalan konstruksi (referensi.elsam.or.id).
Secara kelembagaan dapat ditinjau dari sisi formal dan non formal. Secara formal, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merupakan focal point lembaga pemerintah di tingkat pusat. Sementara itu, focal point penanggulangan bencana di tingkat provinsi dan kabupaten/kota adalah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Dari sisi non formal, forum-forum baik di tingkat nasional dan lokal dibentuk untuk memperkuat penyelenggaran penanggulangan bencana di Indonesia (www.bnpb.go.id).
            Namun, BNPB ataupun Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) hanya diisi dengan personel dan peralatan ala kadarnya.  Mereka lebih mengandalkan pada personil yang dipinjam dari instansi lain seperti dari Kementerian PU, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, bahkan hingga Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) atau Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) dalam bentuk Tim Satuan Respon Cepat (SRC) atau Taruna Siaga Bencana (TAGANA). 
Teorinya, personil pinjaman ini sudah sepakat siap dikerahkan sewaktu-waktu ada bencana.  Kenyataan di lapangan tidak semudah itu.  Kadang-kadang anggota SRC ataupun TAGANA sedang menghadapi tugas pokok sehari-hari di instansinya.  Dan tidak selalu mudah untuk setiap saat meninggalkan tugas pokoknya tersebut dan dikerahkan ke daerah bencana.  Apalagi kalau sudah menjelang akhir tahun, di mana tugas-tugas menumpuk dan harus ada laporan akhir yang dapat dipertanggungjawabkan di depan auditor, yang tentu saja hanya akan menilai kinerja berdasarkan tupoksi tiap instansi. 
Organisasi yang kurang fokus ini juga menyebabkan rekrutmen personel BNPB atau BPBD belum berdasarkan kompetensi – atau bahkan sertifikasi.  Personel PNS limpahan dari instansi lain masih ada yang “personel sisa”, bukan personel terbaik yang tahan banting.  Dari sisi organisasi ini, harus diakui bahwa TNI memiliki organisasi dan personel terlatih yang paling siap melakukan tanggap darurat.[2]
Adapun sumber pendanaan yang terkait dengan penanggulangan bencana di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 pasal 4 adalah:
·         Dana DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) yaitu APBN/APBD
·         Dana Kontinjensi, yaitu dana yang dicadangkan untuk menghadapi kemungkinan terjadinya bencana tertentu.
·         Dana On-call atau dana siap pakai adalah dana yang selalu tersedia dan dicadangkan oleh Pemerintah untuk digunakan pada saat keadaan darurat bencana sampai dengan batas waktu keadaan darurat berakhir.
·         Dana Bantual Sosial Berpola Hibah adalah dana yang disediakan Pemerintah kepada Pemerintah Daerah sebagai bantuan penanganan untuk kegiatan pada tahap pascabencana.
·         Dana yang bersumber dari masyarakat dan dunia usaha. Pendanaan masyarakat dapat berasal dari individu atau kelompok masyarakat yang menyumbang secara sukarela. Sedangkan pendanaan dunia usaha dapat berasal dari CSR.
·         Dana dukungan komunitas internasional

Tumpang Tindih Kebijakan, Kapitalis Diutamakan
            Pembentukan BNPB memang merupakan suatu kemajuan yang dilakukan oleh Indonesia. Fakta Indonesia yang telah beribu kali bahkan jutaan kali mengalami bencana sudah selayaknya menjadikan Indonesia sebagai negara yang mahir dalam penanggulangan bencana. Seharusnya negara lain di dunia menjadikan Indonesia sebagai guru dalam penaggulangan bencana. Namun, nyatanya Indonesia jauh tertinggal dan harus kembali belajar.
            Secara teori, sistem penanggulangan bencana Indonesia telah cukup baik, tapi realitasnya penanganan bencana biasanya hanya terfokus pada upaya tanggap darurat saja.  Padahal, upaya pencegahan dan pemulihan sama pentingnya dengan upaya tanggap darurat ketika bencana itu terjadi. Hal ini biasanya terkendala oleh terbenturnya kebijakan satu dan yang lainnya. Misalnya dalam rangka tata ruang pembangunan kota, selayaknya pendapat para ahli dibidangnya menjadi acuan utama. Namun, seringkali hal itu dikalahkan oleh keuntungan kapitalis belaka. Kasus pindah alih fungsi lahan perhutanan menjadi perhotelan misalnya. Jelas-jelas secara teori bisa menimbulkan bencana banjir atau longsor, namun dengan dalih pendapatan sektor pariwisata semua itu akhirnya diabaikan.
            Kapitalisme yang menjadi ruh negeri ini kian merugikan rakyat. Pada kasus gempa Lombok misalnya, pemerintah terlihat totalitas dan mampu mengerahkan segenap kemampuan untuk mengevakuasi wisatawan asing maupun lokal, sedangkan pribumi asli di nomor sekiankan. Kebijakan pemerintah yang menganggap ekonomi menjadi bangkit melalui sektor pariwisata sungguh merupakan logika sesat. Bahkan, demi membangkitkan sektor pariwisata pemerintah daerah bertaruh menggadaikan aqidah dengan melahirkan kembali budaya-budaya lampau yang bertentangan dengan islam. Penolakan status bencana nasional di Lombok pun alasan utamanya karena takut mengurangi wisatawan datang ke Indonesia sehingga menyebabkan kerugian bertambah. Pasalnya, Indonesia telah kerugian sejumlah Rp 22 T akibat serangkaian bencana ini. Begitulah, pemerintah kapitalis tak pernah tulus ikhlas dalam mengurus rakyatnya. Seharusnya pemerintah jor-joran membela rakyat meski harus mengeluarkan segenap harta negeri, namun untung rugi selalu jadi pertimbangan.
           
Politik Penanggulangan Bencana Negara Khilafah
            Rasulullah tidak hanya mewariskan ajaran islam pada umatnya, namun juga peradaban islam yang tegak kokoh dengan cakupan wilayah yang begitu luas. Banyak referensi menyebutkan bahwa khilafah cukup sering mengalami bencana dan sukses dalam mengatasinya. Hal ini karena khilafah terdiri dari daerah yang juga rawan bencana. Kekeringan sering terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara yang memiliki gurun-gurun luas. Banjir sering melanda daerah dekat sungai Nil di Mesir ataupun Eufrat – Tigris di Irak. Gempa mengguncang daerah Turki, Iran dan Afghanistan bahkan hingga kini. Terlebih lagi sebelum abad ke 18 M dunia kesehatan belum banyak berkembang sehingga sering muncul wabah penyakit.
            Cerita masyhur tentang rencana pembuatan bendungan sungai Nil oleh Ibn al-Haitsam salah satu bentuk keseriusan kholifah dalam upaya pencegahan bencana alam. Kala itu seorang Sultan di Mesir pada abad 10 M tidak cukup puas dengan early warning system ala al-Farghani dengan nilometernya. Kemudian sayembara pembangunan bendungan diadakan dan Ibn al-Haitsam pemenangnya. Namun beliau tertegun tatkala melihat piramida hasil Fir’aun dan merasa dirinya pun tak kan mampu membuat sebuah bendungan. Namun fisika optik yang kemudian ditekuninya adalah dasar bagi Galileo dan Newton dalam mengembangkan mekanika.  Dengan fisika Newton inilah pada abad-20 orang berhasil membendung sungai Nil dengan bendungan Aswan.
            Pernah pula suatu ketika negara Turki saat ini mengundang ilmuan Jepang untuk ikut membangun salah satu masjid di Turki agar kokoh menghadapi gempa. Namun, ilmuan tersebut tercengang ketika mengetahui bahwa pondasi masjidnya sudah sangat canggih. Ternyata masjid tersebut merupakan hasil karya Sinan. Sinan, arsitek Sultan Ahmet yang fenomenal, membangun masjidnya itu dengan konstruksi beton bertulang yang sangat kokoh serta pola-pola lengkung berjenjang yang dapat membagi dan menyalurkan beban secara merata.  Semua masjid yang dibangunnya juga diletakkan pada tanah-tanah yang menurut penelitiannya saat itu cukup stabil.  Gempa-gempa besar di atas 8 Skala Richter yang terjadi di kemudian hari terbukti tak membuat dampak sedikitpun pada masjid itu, sekalipun banyak gedung modern di Istanbul yang justru roboh.
            Khilafah pun negara pembelajar dan terbuka dengan kemajuan teknologi. Maka, sudah dipastikan ketika tegak khilafah yang ke dua nanti, akan mampu menyamai bahkan melebihi negara-negara maju saat ini dalam penanganan bencananya. Misalnya saja belajar dari Jepang. Di lembaga riset, banyak hal terkait bencana diselidiki dalam skala mendekati sebenarnya.  Ada sebuah platform sebesar lapangan tenis yang dapat diguncang sedemikian rupa seolah-olah ada gempa berkekuatan 9.5 Skala Richter.  Di atas platform itu bisa dibangun apa saja, rumah atau tangki dan dilihat seberapa kuat strukturnya menghadapi goyangan.  Ada pula tempat sebesar hanggar Jumbojet yang dapat meniru hujan disertai badai yang dahsyat.  Di bawahnya bisa dibuat bukit-bukitan dan ditanami berbagai jenis pohon untuk dilihat kekuatannya menahan hujan badai itu.  Hanggar ini ditaruh di atas rel raksasa sehingga dapat digeser ke banyak sekali jenis tanah dan vegetasinya.  Hasil riset ini lalu diterapkan di lapangan.  Tata ruangnya disiapkan agar bencana apapun berdampak minimal.  Mereka bahkan menyiapkan taman-taman dalam jumlah yang cukup, yang sekaligus dapat disulap menjadi tempat evakuasi kalau ada bencana.  Di situ bahkan sudah tersedia lapangan yang memadai untuk helicopter mendarat.  Di banyak supermarket tersedia disaster kit yang siap pakai.  Dan masyarakat dilatih setahun dua kali untuk menghadapi kondisi darurat. [3]
Contoh upaya tanggap darurat bencana ala khilafah adalah ketika peristiwa paceklik yang melanda khilafah. Selama terjadi musim paceklik itu Khalifah Umar bin Khattab senantiasa sibuk menyiapkan bahan makanan, bahkan sering  pula Khalifah Umar sendiri yang memasak makanan untuk di hidangkan kepada para korban tersebut. Dan selama itu pula Amirul  Mukminin, Khalifah Umar bin Khattab tidak pernah makan di rumah keluarganya. Kemungkinan dari cara-cara Khalifah Umar bin Khattab menanggulangi bencana paceklik tersebut, yang tidak hanya menunjuk sebuah  tim sosialnya saja yang berkerja keras untuk menanggulanginya. Akan  tetapi bahkan beliau sendiri aktif  sekali dalam melayani para korban tersebut. Kemudian beliau menyuruh tim sosialnya  mengantar para korban kekampungnya masing-masing setelah musim paceklik  berakhir,dan selama korban masih membutuhkan bantuannya beliau selalu pula bersedia melayaninya.
            Selain mitigasi bencana yang matang, pengerahan pakar-pakar dalam tata ruang, kemudahan diadakannya riset-riset, hal yang tak kalah penting lainnya adalah pembentukan sumber daya manusia yang berintegritas (shiddiq), kredibel (amanah), pembelajar (fathanah), serta senantiasa mendokumentasi dan mengomunikasikan gagasannya (tabligh). Sehingga, ketika bencana terjadi tidak ada lagi ‘gegar bencana’, shock berkepanjangan merasa dirinya perlu pertolongan, tapi justru dirinya sendiri orang yang paling bisa diandalkan dalam penanggulangan bencana. Akidah islam yang menjadi dasar pembentukan kepribadiannya menjadikan dirinya orang yang bersabar, tawakal, dan penuh empati. Saling membantu bukan saling menyiku.
 Adanya kewajiban jihad menjadikan masyarakat islam sebagai masyarakat yang cepat tanggap dalam menghadapi bencana. Terlebih lagi, kebijakan khilafah mengklasifikasikan prajurit menjadi dua bagian, pasukan cadangan dan reguler, memastikan sebagian besar masyarakat islam sebagai masyarakat yang terlatih dan bisa diandalkan di lapangan.
Dari paparan di atas maka bisa kita tarik kesimpulan bahwa manajemen penanggulangan bencana khilafah tegak berdasarkan akidah islam, prinsip-prinsip pengaturannya bertumpu pada syariat, kebijakannya diambil dalam rangka kemaslahatan umat.

Sumber Pendanaan Bencana Negara Khilafah
            Adapun sumber pendanaan ketika ada bencana dalam khilafah adalah sebagai berikut: [4]
1.       Pos fa’iy (harta rampasan perang) manakala negara khilafah melakukan futuhat atau penaklukan guna penyebaran Islam. Devisa negara yang berasal dari pos fa’iy sebagian dialokasikan untuk penanganan bencana alam.
2.       Pos kharaj (pungutan atas tanah kharajiyyah), setiap negeri yang masuk Islam melalui jalan peperangan/futuhat seperti Irak atau Mesir, juga negeri-negeri lain, telah ditetapkan oleh hukum syara sebagai tanah kharaj. Tanah ini akan dipungut biayanya yang disebut uang kharaj, dimana besarannya diserahkan kepada pendapat/ijtihad khalifah. Devisa negara dari tanah kharaj ini terbilang besar, seperti yang diperoleh dari tanah Irak di masa Kekhilafahan Umar bin Khaththab. Dari pos kharaj ini sebagian akan dialokasikan untuk pos penanganan bencana.
3.       Pos milkiyyah ‘ammah (kepemilikan umum). Di dalam negara khilafah berbagai kepemilikan umum seperti barang tambang migas, mineral, batu bara akan dikelola negara dan hasilnya menjadi milik umum. Keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan ini sebagian akan dialokasikan untuk menangani bencana alam.
4.       Pos dlaribah (pungutan atas kaum muslimin). ini bukan pajak. Bila dalam sistem kapitalisme pajak dijadikan urat nadi pereekonomian, termasuk dalam penanganan bencana,  Islam menolak jauh-jauh konsep ini. Haram bagi negara memungut pajak dari rakyat. Akan tetapi manakala kas negara dalam keadaan minim sedangkan kebutuhan ri’ayah (mengurus) rakyat harus tetap berjalan, maka ada pungutan yang dinamakan dlaribah. Perbedaannya dengan pajak adalah obyeknya. Dlaribah hanya diambil dari warga muslim yang mampu/kaya, tidak dipungut dari yang menengah apalagi yang tidak mampu. Warga nonmuslim bahkan sama sekali tidak diambil dlaribah-nya.

Musibah dan Muhasabah
            Telah diajarkan oleh nabi kita bahwa segala bentuk bencana adalah bagian dari qadhâ’ Allah SWT, sebagaimana firmanNya dalam QS at-Taubah [9]: 51 yang artinya “Katakanlah, “Tidak akan pernah menimpa kami melainkan apa yang memang telah Allah tetapkan untuk kami. Dialah Pelindung kami.” Karena itu hanya kepada Allahlah kaum Mukmin harus bertawakal”. Olehkarena itu, sikap pertama yang harus diambil oleh seorang muslim adalah bersabar atas ketetapan dan tidak berlkelanjutan dalam kesedihan.
Namun, ternyata bencana sangat erat kaitannya dengan kemaksiatan. Sebagaimana yang telah Allah SWT firmankan dalam QS ar-Rum [30]: 41 yang artinya “Telah nyata kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka itu, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Serta TQS al-Mulk [67]: 16-1 yang artinya “Apakah kalian merasa aman dari (azab) Allah Yang (berkuasa) di langit saat Dia menjungkirbalikkan bumi bersama kalian. Lalu dengan itu tiba-tiba bumi berguncang? Ataukah kalian merasa aman dari (azab) Allah Yang (berkuasa) di langit saat Dia mengirimkan angin disertai debu dan kerikil Lalu kelak kalian akan tahu bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku?”
Musibah dan muhasabah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan. Apalagi jika musibah itu sudah menjadi suatu bencana yang merugikan banyak pihak. Maka sudah selayaknya kita introsfeksi diri, kemaksiatan apa yang telah kita perbuat? Pelanggaran apa yang telah masyarakat ini lakukan? Pembangkangan apa yang telah negara ini tegakkan? Sungguh, keingkaran kita kepada syariat-Nya lah kemaksiatan yang nyata. Semoga negeri yang kita cintai ini segera bertaubat dan menerapkan aturan-Nya secara kaffah, sehingga bisa menjadi negeri yang diridhoi Allah dan diberkahi dari daratan dan lauta. Aamiin..

[1] Urwatul Wusqa (Mahasiswa Pascasarjana Teknik Geologi ITB), 2016. Manajemen Bencana Alam dalam Khilafah
[2] Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar. PENANGGULANGAN BENCANA; Persoalan Fokus, Organisasi dan Anggaran
[3]  Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar. Belajar Berkontribusi dalam Mengatasi Bencana
[4]  Iwan Januar, 2014. Dana Penanganan Bencana Dalam Negara Islam

Download power point tentang Tinjauan Penyebab Bencana Perspektif Sains dan Aqidah disini

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Total Tayangan Halaman

Blogroll

About

Assalamu'alaikum.. Mencoba berbagi berbagai pemikiran yang disandarkan pada islam politis, sebagai sarana belajar mengasah kemampuan berpikir dan analisis politik dengan kerangka yang islami. Bebas share dengan dicantumkan sumber referensinya. Semoga bermanfaat :) Wassalam..

Popular Posts

Blog Archive