Sumber: nasional.kompas.com |
Tidak dipungkiri, Indonesia tidak
hanya menyajikan segudang kekayaan sumber daya alam namun dibaliknya juga
mengandung potensi bencana yang cukup menakutkan. Tercatat sejak awal Januari
hingga Maret 2018 ada 513 bencana di tanah air (news.detik.com). Posisi Indonesia yang berada di wilayah tropis
serta kondisi hidrologis memicu terjadinya bencana alam lainnya, seperti angin
puting beliung, hujan ekstrim, banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Di sisi
lain, secara geologi, Indonesia memiliki 129 gunung api aktif, atau dikenal
dengan ring of fire, serta terletak
pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif dunia: Lempeng Indo-Australia,
Eurasia, dan Pasifik.[1] Hal ini mengakibatkan Indonesia rawan
bencana kegempaan, baik yang sifatnya vulkanik maupun tektonik.
Gempa yang diakibatkan oleh
aktivitas tektonik biasanya lebih berdampak besar. Gempa baru-baru ini yang
terjadi di Lombok dan Sulawesi Tengah adalah salahsatu contohnya. Badan
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan gempa berkekuatan 7
Skala Richter yang mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat pada Minggu (5/8)
merupakan akibat dari pergerakan Sesar Naik Flores atau Flores Back Arc Thrust (tirto.id).
Per tanggal satu September 2018, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menyebutkan ada 564
korban meninggal dan 1.584 orang luka-luka (nasional.kompas.com).
Sama halnya dengan Lombok, gempa
yang terjadi di Palu, Donggala dan Sigi pun disebabkan oleh aktivitas sesar
geser Palu Koro. Sesar geser ini kemudian memicu longsor bawah laut. Ini
terbukti dari keruhnya air laut ketika bencana ini datang. Kemungkinan ada
material yang longsor di dasar laut, mengotori air dan terbawa ke daratan (republika.co.id). Korban dan kerusakan fasilitas
gempa Sulawesi Tengah ini lebih parah dibandingkan dengan gempa Lombok.
Tercatat per tanggal sepuluh Oktober 2018 ada sebanyak 2.045 korban meninggal
dunia dan 10.679 orang luka-luka (liputan6.com).
Perbedaan signifikan ini karena di Sulteng tidak hanya fenomena gempa saja,
namun disusul oleh tsunami dan likuifaksi.
Pemerintah Gagap Menanggulangi Bencana
Gempa
sebesar 7,7 Skala Richter (SR) mengguncang Palu dan sekitarnya pada Jum’at
(28/09) menjelang waktu sholat magrib. Banyak dokumentasi berseliweran di media
sosial menggambarkan dahsyatnya goncangan yang terjadi. Kurang dari semenit
saja jalan raya yang tampak kokoh terpecah belah. Jembatan kuning yang menjadi icon kota Palu luluh lantah tinggal kenangan.
Perkampungan dan fasilitas lainnya di sepanjang pesisir habis tersapu tsunami.
Parahnya lagi, tiga desa ‘hilang’ ditelan bumi, Balaroa, Petobo dan Jono Oge.
Di tengah gentingnya kondisi Palu tersebut,
ternyata respon pemerintah kurang tanggap. Tiga hari paska bencana, pemerintah
dan rombongan pejabatnya baru mendatangi lokasi untuk sekedar peninjauan
semata. Meski dikatakan paska kejadian presiden langsung membentuk tim gerak
melalui grup whatsapp, namun fakta
dilapangan berbicara lain. Warga yang mengungsi di Bandara Mutiara Sis Aljufri
di Kota Palu mengaku kelaparan belum mendapatkan pasokan makanan selama tiga
hari. Padahal, bandara adalah tempat yang paling mudah untuk diakses oleh
pemerintah. Bisa dibayangkan bagaimana nasib warga lain di daerah pelosok.
Ditambah lagi dengan adanya penjegalan bantuan pangan di tengah perjalanan
menunjukkan minimnya koordinasi pemerintah dengan pihak keamanan.
Di
hari ke tiga bencana pun terlihat antrian panjang masyarakat di SPBU. Pasokan
BBM Palu terkendala rusaknya fasilitas SPBU dan rusaknya akses menuju lokasi
akibat bencana. Aktivitas evakuasi ikut terhambat karena kelangkaan BBM ini. Di
sisi lain, relawan kesehatan mengeluh karena saling lempar tugas pengurusan
jenazah korban. Alhasil, halaman rumah sakit yang seharusnya bisa dioptimalkan
untuk perawatan pasien terutama ketika ada gempa susulan terhambat karena
banyaknya jenazah terabaikan yang bahkan sudah membusuk menyengat dan bisa
menimbulkan wabah penyakit baru.
Tidak hanya
itu, karut marut kondisi Palu terlihat ketika relawan ‘berebut’ transportasi
dengan keluarga korban. Pesawat Hercules TNI yang diterbangkan ke Sulteng
seolah mati kutu menghadapi paniknya korban gempa yang hendak mengungsi ke luar
Palu, saling sikut dan tak bisa diarahkan. Desakan keluarga korban yang ngotot
hendak mencari keluarganya yang terdampak gempa sampai-sampai tega berkata
tidak membutuhkan bantuan relawan, nyatanya banyak dari mereka tidak kuat
mental dan ingin kembali ke kampung halaman. Penjarahan barang-barang selain
sandang pangan menambah miris keadaan. Namun di tengah serba-serbi itu
pemerintah dengan percaya diri mengatakan bahwa Palu kembali bangkit dalam
sepekan. Padahal tindakan pemerintah begitu reaktif, tidak proaktif.
Sistem Penanggulangan Bencana Indonesia
Sejak
terjadinya gempa bumi dan disusul tsunami yang menerjang Aceh dan sekitarnya
pada tahun 2004, pemerintah Indonesia menyadari bahwa masalah kebencanaan harus
ditangani secara serius. Maka, secara periodik, Indonesia membangun sistem
nasional penanggulangan bencana.
Secara
legislasi Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Dalam UU ini Pemerintah dan pemerintah
daerah menjadi penanggung jawab dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana. Setiap orang berhak mendapatkan
pelindungan sosial dan
rasa aman, khususnya bagi
kelompok masyarakat rentan bencana, mendapatkan pendidikan, pelatihan,
dan ketrampilan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana,
mendapatkan informasi secara tertulis
dan/atau lisan tentang kebijakan
penanggulangan bencana, berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan
pemeliharaan program penyediaan
bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan psikososial, berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan bencana
khususnya yang berkaitan dengan
diri dan komunitasnya dan melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang
diatur atas pelaksanaan penanggulangan bencana. Selain itu setiap orang yang
terkena bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar,
memperoleh ganti kerugian karena terkena bencana yang
disebabkan oleh kegagalan konstruksi (referensi.elsam.or.id).
Secara
kelembagaan dapat ditinjau dari sisi formal dan non formal. Secara formal,
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merupakan focal point lembaga pemerintah di tingkat pusat. Sementara itu, focal point penanggulangan bencana di
tingkat provinsi dan kabupaten/kota adalah Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD). Dari sisi non formal, forum-forum baik di tingkat nasional dan lokal
dibentuk untuk memperkuat penyelenggaran penanggulangan bencana di Indonesia (www.bnpb.go.id).
Namun,
BNPB ataupun Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) hanya diisi dengan
personel dan peralatan ala kadarnya.
Mereka lebih mengandalkan pada personil yang dipinjam dari instansi lain
seperti dari Kementerian PU, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, bahkan
hingga Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) atau Bakosurtanal (Badan
Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) dalam bentuk Tim Satuan Respon Cepat
(SRC) atau Taruna Siaga Bencana (TAGANA).
Teorinya,
personil pinjaman ini sudah sepakat siap dikerahkan sewaktu-waktu ada
bencana. Kenyataan di lapangan tidak
semudah itu. Kadang-kadang anggota SRC
ataupun TAGANA sedang menghadapi tugas pokok sehari-hari di instansinya. Dan tidak selalu mudah untuk setiap saat
meninggalkan tugas pokoknya tersebut dan dikerahkan ke daerah bencana. Apalagi kalau sudah menjelang akhir tahun, di
mana tugas-tugas menumpuk dan harus ada laporan akhir yang dapat
dipertanggungjawabkan di depan auditor, yang tentu saja hanya akan menilai
kinerja berdasarkan tupoksi tiap instansi.
Organisasi
yang kurang fokus ini juga menyebabkan rekrutmen personel BNPB atau BPBD belum
berdasarkan kompetensi – atau bahkan sertifikasi. Personel PNS limpahan dari instansi lain
masih ada yang “personel sisa”, bukan personel terbaik yang tahan banting. Dari sisi organisasi ini, harus diakui bahwa
TNI memiliki organisasi dan personel terlatih yang paling siap melakukan
tanggap darurat.[2]
Adapun
sumber pendanaan yang terkait dengan penanggulangan bencana di Indonesia sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 pasal 4 adalah:
·
Dana DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran) yaitu APBN/APBD
·
Dana Kontinjensi, yaitu dana yang
dicadangkan untuk menghadapi kemungkinan terjadinya bencana tertentu.
·
Dana On-call atau dana siap pakai
adalah dana yang selalu tersedia dan dicadangkan oleh Pemerintah untuk
digunakan pada saat keadaan darurat bencana sampai dengan batas waktu keadaan
darurat berakhir.
·
Dana Bantual Sosial Berpola Hibah
adalah dana yang disediakan Pemerintah kepada Pemerintah Daerah sebagai bantuan
penanganan untuk kegiatan pada tahap pascabencana.
·
Dana yang bersumber dari masyarakat
dan dunia usaha. Pendanaan masyarakat dapat berasal dari individu atau kelompok
masyarakat yang menyumbang secara sukarela. Sedangkan pendanaan dunia usaha
dapat berasal dari CSR.
·
Dana dukungan komunitas
internasional
Tumpang Tindih
Kebijakan, Kapitalis Diutamakan
Pembentukan BNPB memang merupakan
suatu kemajuan yang dilakukan oleh Indonesia. Fakta Indonesia yang telah beribu
kali bahkan jutaan kali mengalami bencana sudah selayaknya menjadikan Indonesia
sebagai negara yang mahir dalam penanggulangan bencana. Seharusnya negara lain
di dunia menjadikan Indonesia sebagai guru dalam penaggulangan bencana. Namun,
nyatanya Indonesia jauh tertinggal dan harus kembali belajar.
Secara teori, sistem penanggulangan
bencana Indonesia telah cukup baik, tapi realitasnya penanganan bencana
biasanya hanya terfokus pada upaya tanggap darurat saja. Padahal, upaya pencegahan dan pemulihan sama
pentingnya dengan upaya tanggap darurat ketika bencana itu terjadi. Hal ini
biasanya terkendala oleh terbenturnya kebijakan satu dan yang lainnya. Misalnya
dalam rangka tata ruang pembangunan kota, selayaknya pendapat para ahli
dibidangnya menjadi acuan utama. Namun, seringkali hal itu dikalahkan oleh keuntungan
kapitalis belaka. Kasus pindah alih fungsi lahan perhutanan menjadi perhotelan
misalnya. Jelas-jelas secara teori bisa menimbulkan bencana banjir atau
longsor, namun dengan dalih pendapatan sektor pariwisata semua itu akhirnya
diabaikan.
Kapitalisme yang menjadi ruh negeri
ini kian merugikan rakyat. Pada kasus gempa Lombok misalnya, pemerintah
terlihat totalitas dan mampu mengerahkan segenap kemampuan untuk mengevakuasi
wisatawan asing maupun lokal, sedangkan pribumi asli di nomor sekiankan.
Kebijakan pemerintah yang menganggap ekonomi menjadi bangkit melalui sektor
pariwisata sungguh merupakan logika sesat. Bahkan, demi membangkitkan sektor
pariwisata pemerintah daerah bertaruh menggadaikan aqidah dengan melahirkan
kembali budaya-budaya lampau yang bertentangan dengan islam. Penolakan status
bencana nasional di Lombok pun alasan utamanya karena takut mengurangi
wisatawan datang ke Indonesia sehingga menyebabkan kerugian bertambah.
Pasalnya, Indonesia telah kerugian sejumlah Rp 22 T akibat serangkaian bencana
ini. Begitulah, pemerintah kapitalis tak pernah tulus ikhlas dalam mengurus
rakyatnya. Seharusnya pemerintah jor-joran membela rakyat meski harus
mengeluarkan segenap harta negeri, namun untung rugi selalu jadi pertimbangan.
Politik Penanggulangan
Bencana Negara Khilafah
Rasulullah tidak hanya mewariskan
ajaran islam pada umatnya, namun juga peradaban islam yang tegak kokoh dengan
cakupan wilayah yang begitu luas. Banyak referensi menyebutkan bahwa khilafah
cukup sering mengalami bencana dan sukses dalam mengatasinya. Hal ini karena khilafah
terdiri dari daerah yang juga rawan bencana. Kekeringan sering terjadi di Timur
Tengah dan Afrika Utara yang memiliki gurun-gurun luas. Banjir sering melanda
daerah dekat sungai Nil di Mesir ataupun Eufrat – Tigris di Irak. Gempa
mengguncang daerah Turki, Iran dan Afghanistan bahkan hingga kini. Terlebih
lagi sebelum abad ke 18 M dunia kesehatan belum banyak berkembang sehingga
sering muncul wabah penyakit.
Cerita masyhur tentang rencana
pembuatan bendungan sungai Nil oleh Ibn al-Haitsam salah satu bentuk keseriusan
kholifah dalam upaya pencegahan bencana alam. Kala itu seorang Sultan di Mesir
pada abad 10 M tidak cukup puas dengan early
warning system ala al-Farghani dengan nilometernya. Kemudian sayembara
pembangunan bendungan diadakan dan Ibn al-Haitsam pemenangnya. Namun beliau
tertegun tatkala melihat piramida hasil Fir’aun dan merasa dirinya pun tak kan
mampu membuat sebuah bendungan. Namun fisika optik yang kemudian ditekuninya
adalah dasar bagi Galileo dan Newton dalam mengembangkan mekanika. Dengan
fisika Newton inilah pada abad-20 orang berhasil membendung sungai Nil dengan
bendungan Aswan.
Pernah pula
suatu ketika negara Turki saat ini mengundang ilmuan Jepang untuk ikut
membangun salah satu masjid di Turki agar kokoh menghadapi gempa. Namun, ilmuan
tersebut tercengang ketika mengetahui bahwa pondasi masjidnya sudah sangat
canggih. Ternyata masjid tersebut merupakan hasil karya Sinan. Sinan, arsitek
Sultan Ahmet yang fenomenal, membangun masjidnya itu dengan konstruksi beton
bertulang yang sangat kokoh serta pola-pola lengkung berjenjang yang dapat
membagi dan menyalurkan beban secara merata.
Semua masjid yang dibangunnya juga diletakkan pada tanah-tanah yang
menurut penelitiannya saat itu cukup stabil.
Gempa-gempa besar di atas 8 Skala Richter yang terjadi di kemudian hari
terbukti tak membuat dampak sedikitpun pada masjid itu, sekalipun banyak gedung
modern di Istanbul yang justru roboh.
Khilafah pun
negara pembelajar dan terbuka dengan kemajuan teknologi. Maka, sudah dipastikan
ketika tegak khilafah yang ke dua nanti, akan mampu menyamai bahkan melebihi
negara-negara maju saat ini dalam penanganan bencananya. Misalnya saja belajar
dari Jepang. Di lembaga riset, banyak hal terkait bencana diselidiki dalam
skala mendekati sebenarnya. Ada sebuah
platform sebesar lapangan tenis yang dapat diguncang sedemikian rupa
seolah-olah ada gempa berkekuatan 9.5 Skala Richter. Di atas platform itu bisa dibangun apa saja,
rumah atau tangki dan dilihat seberapa kuat strukturnya menghadapi
goyangan. Ada pula tempat sebesar
hanggar Jumbojet yang dapat meniru hujan disertai badai yang dahsyat. Di bawahnya bisa dibuat bukit-bukitan dan
ditanami berbagai jenis pohon untuk dilihat kekuatannya menahan hujan badai
itu. Hanggar ini ditaruh di atas rel
raksasa sehingga dapat digeser ke banyak sekali jenis tanah dan
vegetasinya. Hasil riset ini lalu
diterapkan di lapangan. Tata ruangnya
disiapkan agar bencana apapun berdampak minimal. Mereka bahkan menyiapkan taman-taman dalam
jumlah yang cukup, yang sekaligus dapat disulap menjadi tempat evakuasi kalau
ada bencana. Di situ bahkan sudah
tersedia lapangan yang memadai untuk helicopter mendarat. Di banyak supermarket tersedia disaster kit
yang siap pakai. Dan masyarakat dilatih
setahun dua kali untuk menghadapi kondisi darurat. [3]
Contoh upaya tanggap darurat bencana ala
khilafah adalah ketika peristiwa paceklik yang melanda khilafah. Selama terjadi
musim paceklik itu Khalifah Umar bin Khattab senantiasa sibuk menyiapkan bahan
makanan, bahkan sering pula Khalifah
Umar sendiri yang memasak makanan untuk di hidangkan kepada para korban
tersebut. Dan selama itu pula Amirul
Mukminin, Khalifah Umar bin Khattab tidak pernah makan di rumah
keluarganya. Kemungkinan dari cara-cara Khalifah Umar bin Khattab menanggulangi
bencana paceklik tersebut, yang tidak hanya menunjuk sebuah tim sosialnya saja yang berkerja keras untuk
menanggulanginya. Akan tetapi bahkan
beliau sendiri aktif sekali dalam
melayani para korban tersebut. Kemudian beliau menyuruh tim sosialnya mengantar para korban kekampungnya
masing-masing setelah musim paceklik
berakhir,dan selama korban masih membutuhkan bantuannya beliau selalu
pula bersedia melayaninya.
Selain mitigasi
bencana yang matang, pengerahan pakar-pakar dalam tata ruang, kemudahan diadakannya
riset-riset, hal yang tak kalah penting lainnya adalah pembentukan sumber daya
manusia yang berintegritas (shiddiq), kredibel (amanah), pembelajar (fathanah),
serta senantiasa mendokumentasi dan mengomunikasikan gagasannya (tabligh).
Sehingga, ketika bencana terjadi tidak ada lagi ‘gegar bencana’, shock berkepanjangan merasa dirinya
perlu pertolongan, tapi justru dirinya sendiri orang yang paling bisa
diandalkan dalam penanggulangan bencana. Akidah islam yang menjadi dasar
pembentukan kepribadiannya menjadikan dirinya orang yang bersabar, tawakal, dan
penuh empati. Saling membantu bukan saling menyiku.
Adanya
kewajiban jihad menjadikan masyarakat islam sebagai masyarakat yang cepat
tanggap dalam menghadapi bencana. Terlebih lagi, kebijakan khilafah
mengklasifikasikan prajurit menjadi dua bagian, pasukan cadangan dan reguler,
memastikan sebagian besar masyarakat islam sebagai masyarakat yang terlatih dan
bisa diandalkan di lapangan.
Dari paparan di atas maka bisa kita tarik
kesimpulan bahwa manajemen penanggulangan bencana khilafah tegak berdasarkan
akidah islam, prinsip-prinsip pengaturannya bertumpu pada syariat, kebijakannya
diambil dalam rangka kemaslahatan umat.
Sumber Pendanaan Bencana
Negara Khilafah
Adapun sumber pendanaan ketika ada
bencana dalam khilafah adalah sebagai berikut: [4]
1.
Pos
fa’iy (harta rampasan perang) manakala negara khilafah melakukan futuhat atau
penaklukan guna penyebaran Islam. Devisa negara yang berasal dari pos fa’iy
sebagian dialokasikan untuk penanganan bencana alam.
2.
Pos
kharaj (pungutan atas tanah kharajiyyah), setiap negeri yang masuk Islam
melalui jalan peperangan/futuhat seperti Irak atau Mesir, juga negeri-negeri
lain, telah ditetapkan oleh hukum syara sebagai tanah kharaj. Tanah ini akan
dipungut biayanya yang disebut uang kharaj, dimana besarannya diserahkan kepada
pendapat/ijtihad khalifah. Devisa negara dari tanah kharaj ini terbilang besar,
seperti yang diperoleh dari tanah Irak di masa Kekhilafahan Umar bin Khaththab.
Dari pos kharaj ini sebagian akan dialokasikan untuk pos penanganan bencana.
3.
Pos
milkiyyah ‘ammah (kepemilikan umum). Di dalam negara khilafah berbagai
kepemilikan umum seperti barang tambang migas, mineral, batu bara akan dikelola
negara dan hasilnya menjadi milik umum. Keuntungan yang diperoleh dari
pengelolaan ini sebagian akan dialokasikan untuk menangani bencana alam.
4. Pos dlaribah (pungutan
atas kaum muslimin). ini bukan pajak. Bila dalam sistem kapitalisme pajak
dijadikan urat nadi pereekonomian, termasuk dalam penanganan bencana, Islam menolak jauh-jauh konsep ini. Haram
bagi negara memungut pajak dari rakyat. Akan tetapi manakala kas negara dalam
keadaan minim sedangkan kebutuhan ri’ayah (mengurus) rakyat harus tetap
berjalan, maka ada pungutan yang dinamakan dlaribah. Perbedaannya dengan pajak
adalah obyeknya. Dlaribah hanya diambil dari warga muslim yang mampu/kaya,
tidak dipungut dari yang menengah apalagi yang tidak mampu. Warga nonmuslim
bahkan sama sekali tidak diambil dlaribah-nya.
Musibah dan Muhasabah
Telah diajarkan oleh nabi kita bahwa
segala bentuk bencana adalah bagian dari qadhâ’ Allah SWT, sebagaimana
firmanNya dalam QS at-Taubah [9]: 51 yang artinya “Katakanlah, “Tidak akan pernah menimpa kami melainkan apa yang memang
telah Allah tetapkan untuk kami. Dialah Pelindung kami.” Karena itu hanya
kepada Allahlah kaum Mukmin harus bertawakal”. Olehkarena itu, sikap
pertama yang harus diambil oleh seorang muslim adalah bersabar atas ketetapan
dan tidak berlkelanjutan dalam kesedihan.
Namun, ternyata bencana sangat erat kaitannya dengan
kemaksiatan. Sebagaimana yang telah Allah SWT firmankan dalam QS ar-Rum [30]:
41 yang artinya “Telah nyata kerusakan di
darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah
menimpakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka itu, agar mereka
kembali (ke jalan yang benar)”. Serta TQS al-Mulk [67]: 16-1 yang artinya “Apakah kalian merasa aman dari (azab) Allah
Yang (berkuasa) di langit saat Dia menjungkirbalikkan bumi bersama kalian. Lalu
dengan itu tiba-tiba bumi berguncang? Ataukah kalian merasa aman dari (azab)
Allah Yang (berkuasa) di langit saat Dia mengirimkan angin disertai debu dan
kerikil Lalu kelak kalian akan tahu bagaimana (akibat mendustakan)
peringatan-Ku?”
Musibah dan muhasabah dua sisi yang tidak bisa
dipisahkan. Apalagi jika musibah itu sudah menjadi suatu bencana yang merugikan
banyak pihak. Maka sudah selayaknya kita introsfeksi diri, kemaksiatan apa yang
telah kita perbuat? Pelanggaran apa yang telah masyarakat ini lakukan?
Pembangkangan apa yang telah negara ini tegakkan? Sungguh, keingkaran kita
kepada syariat-Nya lah kemaksiatan yang nyata. Semoga negeri yang kita cintai
ini segera bertaubat dan menerapkan aturan-Nya secara kaffah, sehingga bisa
menjadi negeri yang diridhoi Allah dan diberkahi dari daratan dan lauta.
Aamiin..
[1] Urwatul Wusqa (Mahasiswa
Pascasarjana Teknik Geologi ITB), 2016. Manajemen Bencana Alam dalam Khilafah
[2] Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar.
PENANGGULANGAN BENCANA; Persoalan Fokus, Organisasi dan Anggaran
[3] Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar. Belajar
Berkontribusi dalam Mengatasi Bencana
[4]
Iwan Januar, 2014. Dana Penanganan Bencana Dalam Negara Islam
0 komentar:
Posting Komentar