A.
Karut Marut
Indonesia Kini
Nasib Indonesia kian tak menentu. Cita-cita agung pancasila yang
selama ini diinginkan kian jauh dari harapan. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha
Esa sudah jelas ternodai. Bermula dari keberpihakan sang penguasa pada penista
agama islam yang berbuntut pada semakin didiskriminasikannya umat islam. Ulama
dikriminalisasi, dituduh berbuat makar lalu dipenjarakan. Ormas islam
dibubarkan dengan arogan. Melalui Perppu yang hingga kini pun masih menuai pro
dan kontra. Bahkan tanpa surat keputusan pembubaran, persekusi nyata dilakukan
kepada semua pihak, anggota bahkan yang diduga berafiliasi sekalipun. Mulai
dari pembubaran pengajian, teguran kerjaan, pemberhentian menjadi dosen,
pembekuan dana hingga pencabutan kewarganegaraan. Isu terbaru mengenai usul
seorang praktisi pendidikan dari ormas NU yang mengecam lagu Tepuk Anak Shaleh
yang dinilai intoleran kian menciderai sila pertama pancasila.
Kasus penyiraman air raksa kepada ketua penyidik KPK, Novel
Baswedan, yang tak kunjung selesai menimbulkan banyak tanda tanya, kemanakah
keadilan di negeri ini. Jangankan pelaku intelektual dibaliknya, pelaku
lapangan pun tak terkuak sama sekali. Novel berujar dalang penyerangan
terhadapnya adalah terindikasi dari oknum aparat penegak hukum sendiri. Kemudian,
tertangkapnya ratusan penjahat cyber asal Tiongkok yang langsung saja
dideportasi tanpa diberikan hukuman yang setimpal atas kerugian yang ditanggung
negara menunjukkan semakin tidak adilnya negeri ini.
Sila persatuan Indonesia semakin sulit diwujudkan terlebih karena
ketidak tegasan pemerintah kepada kelompok separatis yang nyata-nyata
menginginkan memisahkan diri dari Indonesia. Ditambah lagi adanya oknum
politisi Nasdem, Viktor Laiskodat, yang nyata-nyata memecah belah dengan ujaran
kebenciannya.
Sila ke empat dan ke lima tak jauh berbeda dengan sila sebelumnya.
Jauh dari realisasi bahkan sekedar mimpi saja. Hal ini bisa diliat dari
kebijakan pemerintah dengan sistem presidential threshold, hutang
Indonesia yang kian menunmpuk, dana haji yang seharusnya amanah ummat tapi
hendak dipakai negara, impor garam Australia, dideportasinya penjahat cyber
asal Tiongkok, rencana pemotongan gaji PNS, dan lain-lain. Semuanya menunjukkan
bahwa suara rakyat tak lagi berarti, suara rakyat tak lagi didengar,
kesejahteraan rakyat tak lagi dinomor satukan.
B.
Penguasa Dzalim
Budak Kapitalisme
Kedzaliman rezim saat ini jelas nampak di hadapan rakyat. Bagai putus urat malu, hari demi hari wajah
asli pemerintahan semakin kentara. Rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu saja,
selebihnya tak lagi diperlukan. Padahal sang pengusa mengaku berasal dari
partai pembela ‘wong cilik’ tapi faktanya ‘wong licik’. Janji manis sebelum
berkuasa berbeda 180 derajat saat setelah menjadi penguasa.
Sekali lagi itu menunjukkan bahwa silih berganti rezim hanya
sebatas mengganti kedok. Ibarat seseorang berganti baju, bajunya berbeda,
badannya tetap sama. Penguasanya berbeda, tapi aktor besar dibalik layar tetap
sama. Rezim hanya sebagai boneka penguasa yang sebenarnya saja. Sistem yang
mengendalikan tetaplah sama. Sistem kapitalisme sebagai buah dari faham
sekulerisme. Hal ini diperkuat oleh pernyataan presiden Jokowi sendiri yang
mengatakan untuk memisahkan agama dengan negara. Bahkan menteri agamanya pun
berujar untuk tak usah serius dalam beragama.
Asas kapitalisme adalah meraup sebanyak mungkin manfaat untuk
keuntungannya sendiri. Segala cara dihalalkan untuk meraih kepentingannya. Di
dunia politik maka dilakukan politik transaksi, tidak mengenal musuh abadi
namun kepentingan abadi.
Pembubaran ormas dan penyudutan islam menunjukkan bahwa hakikat
sebenarnya adalah untuk melenyapkan musuh politiknya. Apalagi pasca kegagalan
menjadikan Ahok sebagai penguasa DKI, maka jangan sampai pilpres 2019 pun
menuai kekalahan. Alhasil Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang selama ini dikenal
umat sebagai ormas yang aktif mengkritik pemerintah sekaligus cikal bakal opini
haram pemimpin kafir yang berujung pada kalahnya Ahok-lah yang mula-mula
dijegal dakwahnya. Selain itu, penguasa berusaha menghentikan langkah ormas
berpengaruh lainnya, semisal Front Pembela Islam (FPI) dengan memfitnah Ust.
Habib Rizieq dengan kasus chat mesum. Media pun ikut andil dalam meraup jumlah
suara pilpres nanti, salah duanya dengan memunculkan survei besarnya presentasi
elektabilitas Jokowi bahkan dikatakan sebagai presiden yang paling dipercayai
rakyat, serta berusaha mengaitkan polemik beras Maknyuss dengan seorang kader
PKS untuk menurunkan performa partai islam tersebut.
C.
Kemerdekaan
Semu
Berdasarkan fakta yang sudah banyak diuraikan sebelumnya, maka
sangatlah wajar jika timbul pertanyaan, benarkah Negara Kesatuan Republik
Indonesia telah merdeka? Sesuai pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa kemerdekaan
yang menjadi hak seluruh bangsa adalah terhapusnya penjajahan. Tapi sejatinya
bukan sekedar penjajahan fisik tapi disegala lini pun terbebas dari penjajahan
tersebut. Faktanya, sampai saat ini Indonesia tak lepas dari penjajahan gaya
baru. Neoimperialisme itu tidak lain dalam bidang politik, ekonomi, budaya
bahkan di segala bidang.
Emha Ainun Nadjib atau lebih dikenal Cak Nun dalam tulisannya
berjudul “Ketika Boneka Jadi Pemimpin” mengatakan bahwa Seorang pemimpin
boneka tidak bisa benar-benar berkuasa, yang benar-benar berkuasa adalah
botoh-botoh yang membiayainya. Setiap langkahnya dikendalikan oleh para botoh.
Setiap keputusannya sudah dipaket oleh penguasa modal. Ia tidak bisa mandiri,
karena dikepung oleh kelompok-kelompok yang juga saling berebut demi melaksanakan
kepentingan masing-masing. Bahkan lebih jauh beliau menjelaskan pemimpin
boneka tidak punya konsep tentang martabat manusia, harga diri Bangsa dan
marwah Negara. Hanya mengerti perdagangan linier dan sepenggal, tidak paham
perniagaan panjang yang ada lipatan dan rangkaian putarannya. Tidak memahami
tanah dan akar kedaulatan, pertumbuhan pohon kemandirian, dengan time-line
matangnya bunga dan bebuahannya. Pemimpin yang demikian membawa bangsanya
berlaku sebagai pengemis yang melamar ke Rentenir.
Tengok saja kebijakan-kebijakan yang diambilnya, tak lepas dari bisikan-bisikan
disekitarnya. Setiap kali ditanya rakyat, selalu berucap “tanya saja kepada
menteri ini”, “tanya saja kepada menteri itu”, “saya hanya menandatangani”, dan
sebagainya. Bahkan Pidato presiden yang mengatakan saatnya untuk membuka
Fakultas Logistik, Packaging, dan Green Building juga menunjukan
ketidak mandiriannya, dan hanya manut pada teks pidato yang sudah disediakan
saja.
Terus bertumpu pada hutang, pencabutan subsidi, penerapan tax
amnesty, semakin terbuka lebarnya keran investasi asing dan sikap
membebeknya terhadap war on terrorism menunjukkan bahwa bangsa ini tak
hanya sedang dijajah oleh partai, tapi juga oleh Asing dan Aseng.
D.
Makna
Kemerdekaan Hakiki
Syaikh Taqiyudin Anhabani dalam kitabnya yang berjudul Nidzamul
Islam menjelaskan bahwa masyarakat adalah sekumpulan individu yang terus
berinteraksi dan memiliki pemikiran, perasaan dan peraturan yang sama. Beliau
pun menjelaskan bahwa bangkitnya seseorang adalah karena pemikirannya.
Pemikiran yang dimaksud adalah pemikiran mustanir atau cemerlang sebagai
buah dari pemikiran yang mendalam dan dikaitkan dengan hakikat penciptaan.
Sehingga, untuk membangkitkan sebuah bangsa perlu ada kebangkitan berfikir dari
individunya hingga berujung pada Tuhan sebagai penciptanya. Pemikiran itu
adalah aqidah islam, yang didalamnya memancarkan aturan yang sempurna. Oleh
karena itu, kemerdekaan hakiki adalah kemerdekaan yang dilandasi oleh sistem
ilahi, yaitu menerapkan syariat islam dalam bingkai daulah khilafah.
Tujuan dari penerapan sistem islam, bukan hanya kebangkitan semu
sebagaimana Amerika yang kuat dalam militernya, atau Jepang yang bangkit dengan
teknologinya, atau Cina yang maju dalam ekonominya. Tapi untuk mendapatkan
ridho dan rahmat Allah subhanahu wata’ala yang kemudian akan
menghasilkan pada kesejahteraan duniawi tidak hanya untuk satu negara tertentu,
tapi untuk seluruh dunia, tidak hanya rahmatan lil muslimin, tapi rahmatan
lil’alamin, untuk alam semesta, manusia, bahkan untuk bangsa jin.
E.
Jalan Menuju
Kemerdekaan Hakiki
Kemerdekaan hakiki dengan menegakkan daulah khilafah tidaklah
mudah. Penuh onak dan duri, banyak tantangan dan rintangan, tekanan dan
goncangan. Namun, Allah sebagai Pencipta Manusia tidak lah memberikan kewajiban
diluar batas kemampuan hambanya. Mewujudkan Khilafah akan terealisasi karena
sejarah sudah membuktikan dan yang dulu memperjuangkan adalah pun manusia,
Rasulullah saw.
Oleh karena itu, jalan menuju kemerdekaan hakiki hanya mampu dituju
dengan mencontoh uswah terbaik kita, mengikuti thariqoh yang
sudah ditetapkannya dan tetap istiqomah dijalannya. Thariqoh itu berupa
pembinaan islam, interaksi atau dakwah dengan ummat, tholabun nusroh dan
penerapan islam dalam kekuasaan. Jalan dakwah yang diambil pun tidak dengan
kekerasan, harus komprehensif, berpolitik dan berstrategi.
Semoga, dengan kita terus istiqomah mengikuti jalan yang sudah
ditetapkan, tidak tergesa-gesa dalam meraih tujuan, bersatu dalam hizb yang
memiliki fiqroh yang lurus dan thoriqoh yang jelas bisa
menghantarkan kita pada kemerdekaan hakiki yang telah dijanjikan. Ingatlah,
semakin pekat malam, tanda fajar akan menyingsing. Kemenangan itu semakin dekat
bahkan lebih dekat dari urat nadi. Wallohu’alam[]
0 komentar:
Posting Komentar