Jumat, 19 Juli 2019



A.    Karut Marut Indonesia Kini
Nasib Indonesia kian tak menentu. Cita-cita agung pancasila yang selama ini diinginkan kian jauh dari harapan. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa sudah jelas ternodai. Bermula dari keberpihakan sang penguasa pada penista agama islam yang berbuntut pada semakin didiskriminasikannya umat islam. Ulama dikriminalisasi, dituduh berbuat makar lalu dipenjarakan. Ormas islam dibubarkan dengan arogan. Melalui Perppu yang hingga kini pun masih menuai pro dan kontra. Bahkan tanpa surat keputusan pembubaran, persekusi nyata dilakukan kepada semua pihak, anggota bahkan yang diduga berafiliasi sekalipun. Mulai dari pembubaran pengajian, teguran kerjaan, pemberhentian menjadi dosen, pembekuan dana hingga pencabutan kewarganegaraan. Isu terbaru mengenai usul seorang praktisi pendidikan dari ormas NU yang mengecam lagu Tepuk Anak Shaleh yang dinilai intoleran kian menciderai sila pertama pancasila.
Kasus penyiraman air raksa kepada ketua penyidik KPK, Novel Baswedan, yang tak kunjung selesai menimbulkan banyak tanda tanya, kemanakah keadilan di negeri ini. Jangankan pelaku intelektual dibaliknya, pelaku lapangan pun tak terkuak sama sekali. Novel berujar dalang penyerangan terhadapnya adalah terindikasi dari oknum aparat penegak hukum sendiri. Kemudian, tertangkapnya ratusan penjahat cyber asal Tiongkok yang langsung saja dideportasi tanpa diberikan hukuman yang setimpal atas kerugian yang ditanggung negara menunjukkan semakin tidak adilnya negeri ini.
Sila persatuan Indonesia semakin sulit diwujudkan terlebih karena ketidak tegasan pemerintah kepada kelompok separatis yang nyata-nyata menginginkan memisahkan diri dari Indonesia. Ditambah lagi adanya oknum politisi Nasdem, Viktor Laiskodat, yang nyata-nyata memecah belah dengan ujaran kebenciannya.
Sila ke empat dan ke lima tak jauh berbeda dengan sila sebelumnya. Jauh dari realisasi bahkan sekedar mimpi saja. Hal ini bisa diliat dari kebijakan pemerintah dengan sistem presidential threshold, hutang Indonesia yang kian menunmpuk, dana haji yang seharusnya amanah ummat tapi hendak dipakai negara, impor garam Australia, dideportasinya penjahat cyber asal Tiongkok, rencana pemotongan gaji PNS, dan lain-lain. Semuanya menunjukkan bahwa suara rakyat tak lagi berarti, suara rakyat tak lagi didengar, kesejahteraan rakyat tak lagi dinomor satukan.

B.     Penguasa Dzalim Budak Kapitalisme
Kedzaliman rezim saat ini jelas nampak di hadapan rakyat.  Bagai putus urat malu, hari demi hari wajah asli pemerintahan semakin kentara. Rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu saja, selebihnya tak lagi diperlukan. Padahal sang pengusa mengaku berasal dari partai pembela ‘wong cilik’ tapi faktanya ‘wong licik’. Janji manis sebelum berkuasa berbeda 180 derajat saat setelah menjadi penguasa.
Sekali lagi itu menunjukkan bahwa silih berganti rezim hanya sebatas mengganti kedok. Ibarat seseorang berganti baju, bajunya berbeda, badannya tetap sama. Penguasanya berbeda, tapi aktor besar dibalik layar tetap sama. Rezim hanya sebagai boneka penguasa yang sebenarnya saja. Sistem yang mengendalikan tetaplah sama. Sistem kapitalisme sebagai buah dari faham sekulerisme. Hal ini diperkuat oleh pernyataan presiden Jokowi sendiri yang mengatakan untuk memisahkan agama dengan negara. Bahkan menteri agamanya pun berujar untuk tak usah serius dalam beragama.
Asas kapitalisme adalah meraup sebanyak mungkin manfaat untuk keuntungannya sendiri. Segala cara dihalalkan untuk meraih kepentingannya. Di dunia politik maka dilakukan politik transaksi, tidak mengenal musuh abadi namun kepentingan abadi.
Pembubaran ormas dan penyudutan islam menunjukkan bahwa hakikat sebenarnya adalah untuk melenyapkan musuh politiknya. Apalagi pasca kegagalan menjadikan Ahok sebagai penguasa DKI, maka jangan sampai pilpres 2019 pun menuai kekalahan. Alhasil Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang selama ini dikenal umat sebagai ormas yang aktif mengkritik pemerintah sekaligus cikal bakal opini haram pemimpin kafir yang berujung pada kalahnya Ahok-lah yang mula-mula dijegal dakwahnya. Selain itu, penguasa berusaha menghentikan langkah ormas berpengaruh lainnya, semisal Front Pembela Islam (FPI) dengan memfitnah Ust. Habib Rizieq dengan kasus chat mesum. Media pun ikut andil dalam meraup jumlah suara pilpres nanti, salah duanya dengan memunculkan survei besarnya presentasi elektabilitas Jokowi bahkan dikatakan sebagai presiden yang paling dipercayai rakyat, serta berusaha mengaitkan polemik beras Maknyuss dengan seorang kader PKS untuk menurunkan performa partai islam tersebut.

C.    Kemerdekaan Semu
Berdasarkan fakta yang sudah banyak diuraikan sebelumnya, maka sangatlah wajar jika timbul pertanyaan, benarkah Negara Kesatuan Republik Indonesia telah merdeka? Sesuai pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa kemerdekaan yang menjadi hak seluruh bangsa adalah terhapusnya penjajahan. Tapi sejatinya bukan sekedar penjajahan fisik tapi disegala lini pun terbebas dari penjajahan tersebut. Faktanya, sampai saat ini Indonesia tak lepas dari penjajahan gaya baru. Neoimperialisme itu tidak lain dalam bidang politik, ekonomi, budaya bahkan di segala bidang.
Emha Ainun Nadjib atau lebih dikenal Cak Nun dalam tulisannya berjudul “Ketika Boneka Jadi Pemimpin” mengatakan bahwa Seorang pemimpin boneka tidak bisa benar-benar berkuasa, yang benar-benar berkuasa adalah botoh-botoh yang membiayainya. Setiap langkahnya dikendalikan oleh para botoh. Setiap keputusannya sudah dipaket oleh penguasa modal. Ia tidak bisa mandiri, karena dikepung oleh kelompok-kelompok yang juga saling berebut demi melaksanakan kepentingan masing-masing. Bahkan lebih jauh beliau menjelaskan pemimpin boneka tidak punya konsep tentang martabat manusia, harga diri Bangsa dan marwah Negara. Hanya mengerti perdagangan linier dan sepenggal, tidak paham perniagaan panjang yang ada lipatan dan rangkaian putarannya. Tidak memahami tanah dan akar kedaulatan, pertumbuhan pohon kemandirian, dengan time-line matangnya bunga dan bebuahannya. Pemimpin yang demikian membawa bangsanya berlaku sebagai pengemis yang melamar ke Rentenir.
Tengok saja kebijakan-kebijakan yang diambilnya, tak lepas dari bisikan-bisikan disekitarnya. Setiap kali ditanya rakyat, selalu berucap “tanya saja kepada menteri ini”, “tanya saja kepada menteri itu”, “saya hanya menandatangani”, dan sebagainya. Bahkan Pidato presiden yang mengatakan saatnya untuk membuka Fakultas Logistik, Packaging, dan Green Building juga menunjukan ketidak mandiriannya, dan hanya manut pada teks pidato yang sudah disediakan saja.
Terus bertumpu pada hutang, pencabutan subsidi, penerapan tax amnesty, semakin terbuka lebarnya keran investasi asing dan sikap membebeknya terhadap war on terrorism menunjukkan bahwa bangsa ini tak hanya sedang dijajah oleh partai, tapi juga oleh Asing dan Aseng.

D.    Makna Kemerdekaan Hakiki
Syaikh Taqiyudin Anhabani dalam kitabnya yang berjudul Nidzamul Islam menjelaskan bahwa masyarakat adalah sekumpulan individu yang terus berinteraksi dan memiliki pemikiran, perasaan dan peraturan yang sama. Beliau pun menjelaskan bahwa bangkitnya seseorang adalah karena pemikirannya. Pemikiran yang dimaksud adalah pemikiran mustanir atau cemerlang sebagai buah dari pemikiran yang mendalam dan dikaitkan dengan hakikat penciptaan. Sehingga, untuk membangkitkan sebuah bangsa perlu ada kebangkitan berfikir dari individunya hingga berujung pada Tuhan sebagai penciptanya. Pemikiran itu adalah aqidah islam, yang didalamnya memancarkan aturan yang sempurna. Oleh karena itu, kemerdekaan hakiki adalah kemerdekaan yang dilandasi oleh sistem ilahi, yaitu menerapkan syariat islam dalam bingkai daulah khilafah.
Tujuan dari penerapan sistem islam, bukan hanya kebangkitan semu sebagaimana Amerika yang kuat dalam militernya, atau Jepang yang bangkit dengan teknologinya, atau Cina yang maju dalam ekonominya. Tapi untuk mendapatkan ridho dan rahmat Allah subhanahu wata’ala yang kemudian akan menghasilkan pada kesejahteraan duniawi tidak hanya untuk satu negara tertentu, tapi untuk seluruh dunia, tidak hanya rahmatan lil muslimin, tapi rahmatan lil’alamin, untuk alam semesta, manusia, bahkan untuk bangsa jin.

E.     Jalan Menuju Kemerdekaan Hakiki
Kemerdekaan hakiki dengan menegakkan daulah khilafah tidaklah mudah. Penuh onak dan duri, banyak tantangan dan rintangan, tekanan dan goncangan. Namun, Allah sebagai Pencipta Manusia tidak lah memberikan kewajiban diluar batas kemampuan hambanya. Mewujudkan Khilafah akan terealisasi karena sejarah sudah membuktikan dan yang dulu memperjuangkan adalah pun manusia, Rasulullah saw.
Oleh karena itu, jalan menuju kemerdekaan hakiki hanya mampu dituju dengan mencontoh uswah terbaik kita, mengikuti thariqoh yang sudah ditetapkannya dan tetap istiqomah dijalannya. Thariqoh itu berupa pembinaan islam, interaksi atau dakwah dengan ummat, tholabun nusroh dan penerapan islam dalam kekuasaan. Jalan dakwah yang diambil pun tidak dengan kekerasan, harus komprehensif, berpolitik dan berstrategi.
Semoga, dengan kita terus istiqomah mengikuti jalan yang sudah ditetapkan, tidak tergesa-gesa dalam meraih tujuan, bersatu dalam hizb yang memiliki fiqroh yang lurus dan thoriqoh yang jelas bisa menghantarkan kita pada kemerdekaan hakiki yang telah dijanjikan. Ingatlah, semakin pekat malam, tanda fajar akan menyingsing. Kemenangan itu semakin dekat bahkan lebih dekat dari urat nadi. Wallohu’alam[]


0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Total Tayangan Halaman

Blogroll

About

Assalamu'alaikum.. Mencoba berbagi berbagai pemikiran yang disandarkan pada islam politis, sebagai sarana belajar mengasah kemampuan berpikir dan analisis politik dengan kerangka yang islami. Bebas share dengan dicantumkan sumber referensinya. Semoga bermanfaat :) Wassalam..

Popular Posts

Blog Archive