Sabtu, 20 Juli 2019



Pendahuluan
            Terhitung sejak tanggal 1 Januari 2015 sesuai dengan Permen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 31 Tahun 2014 pemerintah Indonesia secara resmi telah memberlakukan penyesuaian (kenaikan) tarif dasar listrik (TDL) untuk delapan golongan yaitu golongan rumah tangga R-1 (1.300 VA), R-1 (2.200 VA), R2 (3.500-5.500 VA) dikenakan tarif baru Rp 1.352 per kWh dari sebelumnya Rp 1.145 per kWh. Golongan industri menengah I-3 (di atas 200 kVA), penerangan jalan umum P-3, kantor pemerintah P-2 (di atas 200 kVA), industri besar I-4 (di atas 30.000 kVA), dan pelanggan layanan khusus juga terkena penyesuaian tarif.[1] Sebelumnya, yakni di tahun 2014 pemerintah telah melakukan penyesuaian untuk empat golongan yaitu rumah tangga R-3 (di atas 6.600 VA), bisnis B-2 (6.600 VA – 200 kVA), bisnis B-3 (di atas 200 kVA) dan kantor pemerintah P-1 (6.600 VA).[2] Hanya pelanggan rumah tangga R-1 450 VA dan R-1 900 VA, sosial, bisnis kecil, dan industri kecil yang belum dikenakan tarif penyesuaian. Penyesuaian tersebut akan dilakukan tiap tiga bulan dengan tujuan akhir dapat melakukan penyesuaian tarif listrik untuk semua golongan.

Potensi Sumber Energi dan Pembangkit Listrik Indonesia
            Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber energi yang cukup melimpah, baik sumber energi fosil (minyak bumi, batu bara, gas bumi) dan non fosil (energi baru terbarukan). Per Januari tahun 2010 Direktoral Jendral Minyak dan Gas melansir data potensi minyak mentah Indonesia mencapai 7.408,24 MMSTB yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia dengan potensi terbesar berturut-turut di pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan. (Lihat lampiran 1). Tidak jauh berbeda dengan  minyak bumi, potensi gas bumi Indonesia tersebar hampir merata di seluruh kepulauan Indonesia dengan total potensi sebesar 150,70 TSCF. (Lihat lampiran 2). Pada sektor batu bara, Indonesia memiliki total potensi mencapai 104,76 Miliyar Ton yang tersebar paling besar di pulau Kalimantan dan Sumatera. (Lihat lampiran 3).[3]
            Sebagai negara yang memiliki gunung aktif yang cukup banyak, Indonesia pun memiliki potensi sumber energi panas bumi (geothermal) yang sangat melimpah. Potensi tersebut tersebar di pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi dan Maluku dengan total potensi per tahun 2010 mencapai 29,039 Gwe. (Lihat lampiran 4). Begitupun dengan potensi air Indonesia per tahun 2011 mencapai 75.000 MW yang mampu menerangi lebih dari tiga juta rumah penduduk selama sebulan dengan perkiraan pemakaian listrik 788 Watt per hari (TV 21 inci 28 Watt, komputer 140  Watt, 6 buah lampu @15 Watt, magic jar menanak nasi 465 Watt dan menghangatkan nasi 65 Watt). (Lihat lampiran 5)[3]
            Indonesia sebagai negara yang luas lautannya lebih besar dari pada luas daratannya menyimpan potensi yang mampu menjadi sumber energi alternatif lainnya. Menurut Prof. Safwan Hadi, Ph.D (Dosen Teknik Oseanografi ITB), lautan Indonesia dapat dimanfaatkan sebagai energi alternatif pengganti sumber energi listrik. Pengembangan energi listrik tersebut berasal dari potensi elevasi pasang surut, perbedaan temperatur, arus, gelombang, dan angin di tepi pantai Indonesia.Untuk energi gelombang, bagian selatan Jawa dan bagian barat Sumatera merupakan tempat yang berpotensi untuk dikembangkan, karena wilayahnya yang langsung menghadap ke laut lepas, yaitu Samudera Hindia. Untuk energi dari elevasi pasang surut, daerah paling potensial terdapat di Malaka dan Digul. Sedangkan untuk pembangkit dari potensi suhu atau lebih dikenal sebagai Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC), Indonesia berpotensi di daerah perairan Bali, Sulawesi hingga perairan Papua. Sementara potensi angin pesisir tersebar di daerah selatan Jawa dan Nusa Tenggara Barat. Sedangkan untuk potensi energi arus tersebar di daerah selat Indonesia.[4]
            Potensi energi Indonesia yang melimpah ruah tersebut belum mampu dikelola oleh pemerintah secara maksimal. Menurut Manajer Senior Komunikasi Korporat PT PLN (Persero) Bambang Dwiyanto (tahun 2014) PT PLN (Persero) mencatat jumlah pembangkit listrik di Indonesia mencapai 5.765 pembangkit yang tersebar di seluruh Indonesia. Total kapasitas listrik terpasang nasional mencapai 46.103 MW. Dari jumlah itu, total kapasitas pembangkit yang dimiliki PLN mencapai 34.205 MW. Sedangkan kapasitas pembangkit listrik oleh swasta sebesar 11.898 MW atau 25% dari kapasitas nasional.[5]
            Pada Februari 2014 Tumiran, anggota Dewan Energi Nasional (DEN), menyebutkan bahwa PT PLN (Persero) hanya memiliki kapasitas 35,33 GW untuk memenuhi kebutahan listrik dengan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237 juta jiwa. Berbanding terbalik dengan Negeri Jiran Malaysia, dengan jumlah penduduk 29 juta jiwa, pasokan listriknya mencapai 28,40 GW. Proporsi pasokan listrik di Singapura senilai dengan 10,49 GW, sedangkan jumlah penduduknya hanya 5,3 juta jiwa. Tumiran menyatakan bahwa kendala krusial yang dihadapi Indonesia dalam memasok energi, adalah kebergantungan pasokan bahan baku (seperti bahan bakar minyak dan gas) yang selama ini masih diperoleh melalui impor.[6]

Pengelolaan Sistem Tenaga Listrik di Indonesia
UU No 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan menjelaskan bahwa sistem kelistrikan di Indonesia ditangani oleh PLN sebagai BUMN listrik. Namun, UU No. 30 Tahun 2009 memutuskan “monopoli” PLN tersebut sehingga membuka kesempatan seluas-luasnya bagi BUMN, BUMD, badan usaha swasta, serta koperasi dan swadaya masyarakat untuk ikut bersaing pada jenis usaha pembangkitan, transmisi dan distribusi listrik. Pemecahan struktur industri (unbundling) tersebut pada akhirnya semakin mengokohkan liberalisasi pada sektor ketenagalistrikan Indonesia.
Pihak swasta lebih memilih bermain pada sistem pembangkit, sedangkan sistem transmisi dan distribusi diserahkan kepada PLN sepenuhnya. Hal ini tentu saja mengakibatkan beban tanggungan PLN lebih besar dibandingkan swasta. PLN harus mampu membuat sistem transmisi dan distribusi bagi seluruh rakyat Indonesia dengan kondisi letak antara sistem pembangkit dan pelanggan sangat jauh, sehingga modal yang harus dikeluarkan memakan jumlah yang sangat besar.


Gambar 1. Pemecahan struktur industri (unbundling) Ketenagalistrikan

Dengan areal kerja yang sedemikian luas (seluruh Indonesia) serta dengan total jumlah pelanggan yang hingga tahun 2014 mencapai 54 juta pelanggan maka jelas hal ini merupakan tantangan yang sangat berat bagi PLN.[7] Di satu sisi PLN masih dibebani dengan misi sosial untuk mengusahakan kemakmuran bagi rakyat dan di sisilain PLN harus mengusahakan profit.

Kondisi PLN Tak Berdaya
            Perkembangan perusahaan ketenagalistrikan di Indonesia mulai muncul sejak masa pemerintahan Belanda berkuasa. Dalam perjalanannya, perusahaan-perusahaan tersebut mengalami beberapa kali pemindah tanganan hak milik, mulai dari Belanda, Jepang hingga akhirnya diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia yang meresmikan Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pengelola tenaga listrik milik negara pada tanggal 1 Januari 1961. Pada tahun 1972, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.17, status PLN ditetapkan sebagai Perusahaan Umum Listrik Negara dan sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dengan tugas menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum. Seiring dengan kebijakan Pemerintah yang memberikan kesempatan kepada sektor swasta untuk bergerak dalam bisnis penyediaan listrik, maka sejak tahun 1994 status PLN beralih dari Perusahaan Umum (Perum) menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dan juga sebagai PKUK dalam menyediakan listrik bagi kepentingan umum hingga sekarang.[7]
Yusuf Senopati Riyanto, Ketua Umum Forum Indonesia mengatakan perubahan status menjadi persero tersebut tentu saja menimbulkan konsekuensi bagi PLN. Pada satu sisi PLN harus tetap menjalankan fungsi sosialnya dalam bentuk public service obligation (PSO) dan di sisi yang lain harus bisa mendapatkan keuntungan berdasarkan kaidah-kaidah bisnis perusahaan yang rasional. Padahal dua fungsi tersebut sangat bertentangan. Akibatnya PLN tidak bisa bergerak lincah. Pembentukan anak perusahaan yang diharapkan bisa menjalankan fungsi komersial ternyata tak berdampak banyak bagi PLN untuk mendapatkan laba. Dengan kata lain anak perusahaan tak lebih daripada unit bisnis PLN.[8]
Selain itu, persoalan dari tubuh PLN sendiri sulit untuk diatasi. Pertumbuhan kebutuhan listrik tak sebanding dengan kemampuan PLN menyediakan pembangkit. Keterbatasan keuangan melatarbelakangi merosotnya peran PLN. Pemenuhan listrik di Indonesia mencapai US$12,5 miliar setiap tahun, sementara kemampuan PLN hanya US$5 miliar per tahun. Selain itu, utang PLN yang menggunung juga menjadi persoalan tersendiri. Utang PLN mencapai Rp 400 triliun, padahal aset PLN di tahun 2013 hanya berkisar Rp 604 triliun.[9] Hal ini dipicu oleh kebergantugan PLN pada bahan bakar minyak yang cenderung harganya melambung tinggi dari masa ke masa. Sedangkan bahan bakar fosil lainnya seperti batu bara dan gas alam lebih banyak diekspor pemerintah dibandigkan untuk dikonsumsi bangsa sendiri.
Menurut Direktur Keuangan PLN, Setio Anggoro Dewo, mengatakan perseroan merugi hingga Rp 30,9 triliun sepanjang tahun 2013 karena terjadi rugi kurs akibat utang PLN didominasi oleh valas (30% dari total utang PLN). Utang valas tersebut misalnya pinjaman dari ADB, World Bank, lembaga lain dari satu negara seperti JICA, JBIC, dan bank dari Prancis AFD, termasuk global bond.[10] Selain itu, terdapat aturan Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK) nomor 8  yang harus dilaksanakan PLN. Standar tersebut mengharuskan pembiayaan jangka panjang dan sewa jangka panjang seperti penyediaan listrik swasta (independent power producer/IPP) harus dikonsolidasikan sebagai hutang PLN, artinya pembangkit yang dibangun swasta harus dibeli PLN.
Pemerintah tidak menutup mata dengan keterbatasan PLN. Saat ini Kementerian ESDM tengah menggodok regulasi power wheeling yang memungkinkan produsen listrik swasta membangun pembangkit dan menjual listrik secara langsung tanpa melalui PLN. Menurut Nur Pamudji, Direktur Utama PLN, regulasi itu tidak akan menarik minat swasta membangun pembangkit listrik. Pasalnya, skema power wheeling berbeda dengan IPP yang listriknya dibeli PLN. Produsen listrik swasta dengan skema power wheeling tak memiliki jaminan konsumen yang mengakibatkan lembaga pemberi modal tak akan memberikan kredit dengan mudah.
Oleh karena itu, kerja sama yang bersifat mengikat antara PLn dan pihak swasta lokal maupun asing dianggap solusi satu-satunya yang bisa mengeluarkan PLn dari ketidak berdayaannya. Kerjasama dengan konsultan-konsultan lokal maupun asing terus di tumbuh-kembangkan dalam rangka meningkatkan pangsa pasar. Padahal sejatinya, bagi asing hal tersebut merupakan jalan mulus menuju penguasaan sektor yang menanggung hajat hidup orang banyak ini. Inilah wajah asli dari neoliberalisme yang kian mencengkram.

TDL naik, Rakyat Jadi Korban
Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintah berhak untuk campur tangan dalam urusan BUMN termasuk PLN khususnya dalam hal penetapan tarif. Sebagai realisasi dari regulasi tersebut, maka pemerintah dan PLN memberlakukan kenaikan TDL per Januari  2015 dengan alasan jatah subsidi yang diberikan sedikit sedangkan modal yang diperlukan untuk pengadaan listrik lebih besar. Padahal harga bahan bakar minyak mentah yang dijadikan sebagai bahan bakar utama pembangkit listrik saat ini mengalami penurunan.
Melalui kenaikan TDL ini mengindikasikan bahwa pemerintah secara bertahap melakukan pemangkasan subsidi listrik karena dianggap telah membebani APBN. Padahal besaran subsidi listrik yang akan dinikmati oleh seluruh kalangan masyarakat maupun industri jauh lebih kecil dibandingkan dengan beban lain -misalnya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), bunga hutang negara dan dana berbagai tunjangan pejabat negara- yang dinikmati oleh segelintir orang saja. Di samping itu, kerugian yang dikeluhkan oleh PLN sendiri pada dasarnya merupakan akibat serta konsekuensi dari diubahnya status PLN sebagai perum menjadi persero dan diterapkannya kebijakan unbundling yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah bukan akhirnya membebankan kepada masyarakat dengan menarik tarif yang lebih tinggi.
Dampak dari kenaikan TDL tersebut banyak dirasakan oleh masyarakat baik kalangan menengah ke atas maupun menengah ke bawah. Manager Operasional Cabe Rawit Copy & Printing Palembang, Yanti mengatakan, kenaikan TDL sangat memberatkan ongkos produksi percetakan karena kebutuhan listrik untuk industri digital printing sangat besar, mencapai 75% dari keseluruhan biaya operasional. Akibatnya masyarakat kecil, terutama anak-anak usia sekolah (SD, SMP, dan SMA) serta mahasiswa yang sering menggunakan jasa tersebut ikut terbebani. Ketua Forum Pedagang Kaki Lima (FPKL) AP Luat Siahaan, mengatakan kenaikan TDL membuat daya beli masyarakat menurun yang berimbas pada menurunnya omset. Selanjutnya akan memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran  sehingga berdampak pada pengangguran yang semakin tinggi.

Liberalisasi Biang Kerok Karut Marut Ketenagalistrikan Indonesia
            Sejak dilahirkannya, sistem kapitalisme adalah sistem yang telah memiliki cacat bawaan. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara yang menggunakan sistem kapitalisme sebagai sistem pemerintahannya banyak mengalami kekacauan multidimensi termasuk  dalam sektor ketenagalistrikan. Liberalisme sektor migas sebagai turunan dari sistem kapitalisme memberikan peran penting terhadap karut marutnya ketenagalistrikan Indonesia. Bahan bakar utama yang digunakan untuk pembangkit listrik seperti batu bara, gas alam dan minyak mentah pada akhirnya banyak dikelola secara langsung oleh asing. Tidak hanya karena legalisasi dalam bentuk perundangan, keleluasaan swasta terutama asing pun dipicu oleh keberadaan teknologi berat semisal alat pengoboran yang banyak dimiliki oleh asing. Bahan baku yang didapatkan kemudian lebih banyak diekspor untuk kepentingan negara lain dibandingkan untuk kepentingan negara sendiri. Lagi-lagi hal ini dipicu oleh ketidak mampuan pemerintah dalam mengadakan teknologi pengelolaan migas tersebut semisal pengilangan minyak yang pada akhirnya negara harus membeli bahan bakar yang telah diolah asing padahal bahan bakunya berasal dari negeri sendiri. Akibatnya laba yang didapatkan dalam penjualan bahan baku tak sebanding dengan pengeluaran dalam pengadaan bahan bakar yang siap pakai.
            Selain itu, perubahan status PLN menjadi perusahaan persero membuka dengan leluasa peran swasta dalam pemenuhan kebutuhan listrik dalam negeri. Bagian yang banyak digeluti swasta adalah dalam pengadaan pembangkit sedangkan pengadaan sistem transmisi dan distribusi dilakukan oleh PLN. Meskipun total pembangkit swasta hanya sekitar 25%, namun keuntungan yang diperoleh dalam sistem pembangkit lebih besar yaitu sekitar 15-22%. Sedangkan keuntungan dalam pengadaan transmisi hanya 5-6%, padahal biaya yang dikeluarkan dalam pengadaan transmisi dan distribusi lebih besar yaitu untuk pengadaan kabel transmisi yang menghubungkan antar daerah bahkan pulau, gardu transmisi, gardu distribusi dan lain-lain.
Selain biaya pengadaannya yang relatif besar, PLN pun semakin merugi dengan berkurangnya arus listrik akibat dari losess energy yang ditimbulkan oleh panjangnya kabel penghubung transmisi dan distribusi karena jauhnya jarak pembangkit dengan pelanggan. Oleh karena itu, mau tidak mau PLN harus menambah beban penarikan pelayanan listrik dari masyarakat dengan konsekuensi kualitas pelayanan yang tetap sama. Maka wajar jika masyarakat terutama di luar pulau Jawa dan Bali sering mengalami pemadaman listrik secara rutin serta pembangunan infrastruktur yang terlambat bahkan cenderung di anak tirikan. Strategi dan pendekatan penyediaan tenaga listrik yang bercorak liberalisasi, unbundling dan terdesentralisasi inilah yang mengakibatkan kacau balaunya sistem ketenagalistrikan Indonesia.

Persfektif Islam Terhadap Ketenagalistrikan
            Sistem ekonomi islam memiliki aturan yang jelas dalam kepemilikan setiap harta kekayaan yang ada di muka bumi ini. Kepemilikan harta pada dasarnya adalah kepemilikan bagi Allah, bukan bagi manusia (Q.S. An-Nur [24]: 33 dan Q.S. Nuh [71]: 12). Namun, ketika Allah menjadikan manusia yang menguasai harta, maka Allah telah menjadikan hak kepemilikan harta itu kepada manusia (Q.S. Al-Hadid [57]: 7). Adapun jika dikaji secara mendalam terhadap sejumlah nash syara’, maka kepemilikan dibagi kedalam tiga kategori, yaitu kepemilikan individu, umum dan negara.[9]
            Kepemilikan individu yaitu hukum syara’ atas barang dan jasa yang memberinya peluang bagi orang yang memilikinya untuk memperoleh manfaat serta mendapatkan imbalan dari penggunaannya. Diantara dalil yang mendasarinya adalah sabda Nabi saw, “Barang siapa memasang pagar atas sesuatu, maka sesuatu itu menjadi miliknya.”(HR. Al-Imam Ahmad). Kepemilikan umum yaitu izin asy-Syari’ kepada masyarakat untuk memanfaatkan barang-barang secara bersama-sama. Dalil definisi ini adalah nas-nas yang menyatakan tentang kepemilikan umum, seperti sabda Nabi saw, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air dan api.”(HR Abu Dawud dan Ahmad). Sedangkan kepimilikan negara adalah setiap harta kekayaan yang penggunaannya diserahkan kepada pendapat kepala negara (khalifah) dan ijtihadnya, seperti pajak, kharaj dan jizyah. Sedangkan dalil atas kepemilikan negara  adalah bahwa Rasulullah saw pernah menafkahkan fa’i, harta kharaj dan jizyah berdasarkan pendapatnya.
            Oleh karena itu, dalam persfektif islam, listrik yang merupakan bagian dari energi adalah milik umum. Selain karena  masuk dalam kategori ‘api’ yang merupakan milik umum, sumber energi yang digunakan untuk pembangkit listrik baik oleh PLN maupun swasta sebagian besar berasal dari barang tambang yang jumlahnya besar juga merupakan milik umum. Dengan demikian, pengelolaan listrik tidak boleh diserahkan pada pihak swasta, karena Allah swt telah mengamanatkan kepada Negara (Khilafah) untuk mengelolanya, sebagaimana hadis Rasulullah “Al imam adalah pemimpin kaum muslim yang akan bertanggung-jawab terhadap yang dipimpinpinya”. Negaralah yang bertanggungjawab sepenuhnya dalam pengelolaan sumber energi, tidak hanya sebagai regulator tapi sekaligus sebagai pengelolanya langsung. Negara bertanggungjawab sedemikian rupa sehingga setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan listriknya baik dari sisi kualitas maupun kuantitas dengan harga murah bahkan gratis untuk seluruh rakyat baik kaya atau miskin, muslim maupun non muslim.

Tata Kelola Ketenagalistrikan Khilafah
Khilafah adalah kepemimpinan umum kaum muslim yang menerapkan aturan islam dalam seluruh aspek kehidupan. Setiap kebijakan yang ada dalam negara khilafah selalu berdasarkan pada nas-nas syara’. Kholifah sebagai kepala negara khilafah akan menyelesaikan setiap permasalahan masyarakatnya dengan pertimbangan manusia dilihat dari potensi hidupnya. Oleh karena itu, setiap kebutuhan manusia yang bersifat primer (sandang, papan, dan pangan) akan senantiasa diperhatikan dan dipenuhi seutuhnya oleh negara, termasuk di dalamnya juga pemenuhan listrik yang menjadi kebutuhan setiap warga negara.
Hal yang utama dilakukan khilafah  adalah penguasaan sumber energi yang menjadi hak milik umum rakyat beserta pengadaan teknologinya. Adapun kerjasama dengan pihak swasta bukanlah dalam bentuk Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), dimana pengelolaan sepenuhnya dilakukan oleh pihak swasta sementara pemerintah hanya meperoleh hak bagi hasil. Akan tetapi harus berupa relasi yang tidak akan mengurangi wewenang, fungsi dan tanggung jawab Negara, seperti sewa menyewa, upah mengupah yang sesuai ketentuan syariat Islam.
Langkah berikutnya negara akan berfokus mengembangkan badan risetnya di bidang energi, sehingga mampu menemukan sumber-sumber energi baru yang potensial untuk dieksploitasi. Penelitian-penelitian anak bangsa akan didukung penuh, dibiayai dan difasilitasi bahkan hasil dari penelitiannya akan dijadikan produk massal dan dimanfaatkan secara cuma-cuma oleh masyarakat. Ketika diversifikasi energi tersebut dapat dilakukan, maka negara tidak akan hanya bergantung pada satu sumber energi saja. Alhasil krisis bahan bakar tidak akan menjadi alasan pelalaian negara dalam memenuhi kebutuhan listrik rakyat. Negara memastikan bahwa semua energi tersebut dapat dinikmati oleh seluruh rakyat maupun oleh dunia industri.
Selanjutnya, negara akan membangun sistem sarana dan prasarana yang efektif dan efisien. Sistem pembangkit tenaga listrik akan dibangun disetiap daerah berdasarkan potensi energi yang dimilikinya. Misalnya untuk daerah yang intensitas cahaya mataharinya tinggi, maka akan dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), untuk daerah yang potensi tenaga airnya besar akan dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), untuk daerah yang memiliki banyak sungai dengan ketinggian yang cukup akan dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro dan Piko Hidro (PLTMH dan PLTPH), untuk daerah yang memiliki kecepatan aingin yang besar maka akan dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Banyu (PLTB) dan seterusnya. Hal ini mengakibatkan mudahnya pendistribusian listrik kepada masyarakat dan tidak memerlukan biaya transmisi dan distribusi yang mahal.
Kelebihan dari kebutuhan dalam negeri dapat diekspor ke luar negeri yang keuntungannya dikembalikan kepada seluruh rakyat dalam bentuk kebutuhan publik lainnya seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur maupun untuk riset dan pengembangan teknologi dan sumber daya manusia bidang energi. Selain itu, pengembangan infrastruktur ini akan menciptakan berjuta-juta lapangan pekerjaan yang akan mengangkat berjuta-juta orang keluar dari kemiskinan. Pada gilirannya pengembangan energi akan memberikan efek luar biasa dengan merangsang ekonomi yang lebih luas melalui pengembangan industri berat, kompleks-kompleks manufaktur, industri-industri militer, industri-industri penyulingan dan pabrik-pabrik.
Dengan begitu, Negara Khilafah benar-benar akan bisa mengelola energinya secara mandiri dan tidak diintervensi oleh negara manapun. Jika itu terjadi, maka hasil dari pengelolaan energi itu bukan hanya akan membawa kemakmuran bagi rakyatnya tetapi juga menjadi kekuatan bagi negara. Negara bukan saja mengalami swasembada energi tetapi juga bisa menjadikan energinya sebagai kekuatan diplomasi. Lain halnya dengan kosdisi saat ini yang memperlihatkan kekacauan yang terus menerus terjadi dalam waktu yang sangat panjang.  Hal ini tentu tidak terlepas dari buah diterapkannya sistem ekonomi kapitalis dan sistem politik demokrasi yang mencengkram saat ini. Sistem tersebutlah yang menyebabkan  liberalisasi pada tata kelola listrik, baik sumber energi primer maupun pelayanan listrik yang berimbas pada kesulitan hidup masyarakat. Oleh karena itu, khilafah yang menerapkan syari’at islam yang sempurnalah yang hanya mampu menjadi solusi jitu satu-satunya dalam permasalahan ketenagalistrikan yang dialami Indonesia. Jika khilafah mampu ditegakkan di Indonesia, maka tidak hanya menimbulkan kesejahteraan dunia tapi pun mengundang keberkahan hidup di akhirat.
Wallohu’alam bi ashowab[]

Keterangan:
VA = Volt Ampere
kVA = kilo Volt Ampere
kWh = kilo Watt hour
MMSTB = Million Metric Stock Tank Barrels
TSCF = Trillion Square Cubic Feet
GWe = Giga Watt electric
GW = Giga Watt


Daftar Pustaka:


[9] Muhsin Rodhi, Muhammad. 2012. “Tsaqofah dan Metode Hizbut Tahrir dalam Mendirikan Khilafah”. Bogor: Al Azhar Fresh Zone Publishing






Lampiran

Lampiran 1. Potensi Minyak Bumi Indonesia


Lampiran 2. Potensi Gas Bumi Indonesia


Lampiran 3. Potensi Batu Bara Indonesia


Lampiran 4. Potensi Panas Bumi


Lampiran 5. Potensi Tenaga Air Indonesia





0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Total Tayangan Halaman

Blogroll

About

Assalamu'alaikum.. Mencoba berbagi berbagai pemikiran yang disandarkan pada islam politis, sebagai sarana belajar mengasah kemampuan berpikir dan analisis politik dengan kerangka yang islami. Bebas share dengan dicantumkan sumber referensinya. Semoga bermanfaat :) Wassalam..

Popular Posts

Blog Archive