Pendahuluan
Terhitung sejak tanggal 1 Januari
2015 sesuai dengan Permen Energi
dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 31 Tahun 2014 pemerintah
Indonesia secara resmi telah memberlakukan penyesuaian (kenaikan) tarif dasar
listrik (TDL) untuk delapan golongan yaitu golongan rumah tangga R-1 (1.300
VA), R-1 (2.200 VA), R2 (3.500-5.500 VA) dikenakan tarif baru Rp 1.352 per kWh
dari sebelumnya Rp 1.145 per kWh. Golongan industri menengah I-3 (di atas 200
kVA), penerangan jalan umum P-3, kantor pemerintah P-2 (di atas 200 kVA),
industri besar I-4 (di atas 30.000 kVA), dan pelanggan layanan khusus juga
terkena penyesuaian tarif.[1] Sebelumnya, yakni di tahun 2014
pemerintah telah melakukan penyesuaian untuk empat golongan yaitu rumah tangga
R-3 (di atas 6.600 VA), bisnis B-2 (6.600 VA – 200 kVA), bisnis B-3 (di atas
200 kVA) dan kantor pemerintah P-1 (6.600 VA).[2] Hanya pelanggan
rumah tangga R-1 450 VA dan R-1 900 VA, sosial, bisnis kecil, dan industri
kecil yang belum dikenakan tarif penyesuaian. Penyesuaian tersebut akan
dilakukan tiap tiga bulan dengan tujuan akhir dapat melakukan penyesuaian tarif
listrik untuk semua golongan.
Potensi Sumber Energi dan Pembangkit
Listrik Indonesia
Indonesia merupakan negara yang
memiliki sumber energi yang cukup melimpah, baik sumber energi fosil (minyak
bumi, batu bara, gas bumi) dan non fosil (energi baru terbarukan). Per Januari
tahun 2010 Direktoral Jendral Minyak dan Gas melansir data potensi minyak
mentah Indonesia mencapai 7.408,24 MMSTB yang tersebar di seluruh kepulauan
Indonesia dengan potensi terbesar berturut-turut di pulau Sumatera, Jawa dan
Kalimantan. (Lihat lampiran 1). Tidak jauh berbeda dengan minyak bumi, potensi gas bumi Indonesia
tersebar hampir merata di seluruh kepulauan Indonesia dengan total potensi
sebesar 150,70 TSCF. (Lihat lampiran 2). Pada sektor batu bara, Indonesia
memiliki total potensi mencapai 104,76 Miliyar Ton yang tersebar paling besar
di pulau Kalimantan dan Sumatera. (Lihat lampiran 3).[3]
Sebagai negara yang memiliki gunung
aktif yang cukup banyak, Indonesia pun memiliki potensi sumber energi panas
bumi (geothermal) yang sangat melimpah. Potensi tersebut tersebar di pulau
Sumatera, Jawa, Sulawesi dan Maluku dengan total potensi per tahun 2010
mencapai 29,039 Gwe. (Lihat lampiran 4). Begitupun dengan potensi air Indonesia
per tahun 2011 mencapai 75.000 MW yang mampu menerangi lebih dari tiga juta
rumah penduduk selama sebulan dengan perkiraan pemakaian listrik 788 Watt per
hari (TV 21 inci 28 Watt, komputer 140
Watt, 6 buah lampu @15 Watt, magic
jar menanak nasi 465 Watt dan menghangatkan nasi 65 Watt). (Lihat lampiran
5)[3]
Indonesia sebagai negara yang luas
lautannya lebih besar dari pada luas daratannya menyimpan potensi yang mampu
menjadi sumber energi alternatif lainnya. Menurut Prof. Safwan Hadi, Ph.D
(Dosen Teknik Oseanografi ITB), lautan Indonesia dapat dimanfaatkan sebagai
energi alternatif pengganti sumber energi listrik. Pengembangan energi listrik tersebut
berasal dari potensi elevasi pasang surut, perbedaan temperatur, arus,
gelombang, dan angin di tepi pantai Indonesia.Untuk energi gelombang, bagian
selatan Jawa dan bagian barat Sumatera merupakan tempat yang berpotensi untuk
dikembangkan, karena wilayahnya yang langsung menghadap ke laut lepas, yaitu
Samudera Hindia. Untuk energi dari elevasi pasang surut, daerah paling potensial
terdapat di Malaka dan Digul. Sedangkan untuk pembangkit dari potensi suhu atau
lebih dikenal sebagai Ocean Thermal
Energy Conversion (OTEC), Indonesia berpotensi di daerah perairan Bali,
Sulawesi hingga perairan Papua. Sementara potensi angin pesisir tersebar di
daerah selatan Jawa dan Nusa Tenggara Barat. Sedangkan untuk potensi energi
arus tersebar di daerah selat Indonesia.[4]
Potensi energi Indonesia yang
melimpah ruah tersebut belum mampu dikelola oleh pemerintah secara maksimal. Menurut
Manajer Senior Komunikasi Korporat
PT PLN (Persero) Bambang Dwiyanto (tahun 2014) PT PLN
(Persero) mencatat jumlah pembangkit listrik di Indonesia mencapai 5.765
pembangkit yang tersebar di seluruh Indonesia. Total kapasitas listrik
terpasang nasional mencapai 46.103 MW. Dari jumlah itu, total kapasitas
pembangkit yang dimiliki PLN mencapai 34.205 MW. Sedangkan kapasitas pembangkit
listrik oleh swasta sebesar 11.898 MW atau 25% dari kapasitas nasional.[5]
Pada Februari 2014 Tumiran, anggota Dewan
Energi Nasional (DEN), menyebutkan bahwa PT PLN (Persero) hanya memiliki kapasitas 35,33 GW untuk
memenuhi kebutahan listrik dengan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237 juta
jiwa. Berbanding terbalik dengan Negeri Jiran Malaysia, dengan jumlah penduduk
29 juta jiwa, pasokan listriknya mencapai 28,40 GW. Proporsi pasokan listrik di
Singapura senilai dengan 10,49 GW, sedangkan jumlah penduduknya hanya 5,3 juta
jiwa. Tumiran menyatakan bahwa kendala krusial yang dihadapi Indonesia dalam
memasok energi, adalah kebergantungan pasokan bahan baku (seperti bahan bakar
minyak dan gas) yang selama ini masih diperoleh melalui impor.[6]
Pengelolaan Sistem Tenaga Listrik di
Indonesia
UU No 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan menjelaskan
bahwa sistem kelistrikan di Indonesia ditangani oleh PLN sebagai BUMN listrik. Namun,
UU No. 30 Tahun 2009 memutuskan “monopoli” PLN tersebut sehingga membuka
kesempatan seluas-luasnya bagi BUMN, BUMD, badan usaha swasta, serta koperasi
dan swadaya masyarakat untuk ikut bersaing pada jenis usaha pembangkitan,
transmisi dan distribusi listrik. Pemecahan struktur industri (unbundling) tersebut pada akhirnya
semakin mengokohkan liberalisasi pada sektor ketenagalistrikan Indonesia.
Pihak swasta lebih memilih bermain pada sistem
pembangkit, sedangkan sistem transmisi dan distribusi diserahkan kepada PLN
sepenuhnya. Hal ini tentu saja mengakibatkan beban tanggungan PLN lebih besar
dibandingkan swasta. PLN harus mampu membuat sistem transmisi dan distribusi
bagi seluruh rakyat Indonesia dengan kondisi letak antara sistem pembangkit dan
pelanggan sangat jauh, sehingga modal yang harus dikeluarkan memakan jumlah
yang sangat besar.
Gambar
1. Pemecahan struktur industri (unbundling)
Ketenagalistrikan
Dengan areal kerja yang sedemikian luas (seluruh
Indonesia) serta dengan total jumlah pelanggan yang hingga tahun 2014 mencapai
54 juta pelanggan maka jelas hal ini merupakan tantangan yang sangat berat bagi
PLN.[7] Di satu sisi PLN masih dibebani dengan misi sosial untuk
mengusahakan kemakmuran bagi rakyat dan di sisilain PLN harus mengusahakan
profit.
Kondisi PLN Tak Berdaya
Perkembangan perusahaan ketenagalistrikan
di Indonesia mulai muncul sejak masa pemerintahan Belanda berkuasa. Dalam
perjalanannya, perusahaan-perusahaan tersebut mengalami beberapa kali pemindah
tanganan hak milik, mulai dari Belanda, Jepang hingga akhirnya diambil alih
oleh Pemerintah Republik Indonesia yang meresmikan Perusahaan Listrik Negara
(PLN) sebagai pengelola tenaga listrik milik negara pada tanggal 1 Januari 1961.
Pada tahun 1972, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.17, status PLN
ditetapkan sebagai Perusahaan Umum Listrik Negara dan sebagai Pemegang Kuasa
Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dengan tugas menyediakan tenaga listrik bagi
kepentingan umum. Seiring dengan kebijakan Pemerintah yang memberikan
kesempatan kepada sektor swasta untuk bergerak dalam bisnis penyediaan listrik,
maka sejak tahun 1994 status PLN beralih dari Perusahaan Umum (Perum) menjadi
Perusahaan Perseroan (Persero) dan juga sebagai PKUK dalam menyediakan listrik
bagi kepentingan umum hingga sekarang.[7]
Yusuf Senopati Riyanto, Ketua Umum Forum Indonesia
mengatakan perubahan status menjadi persero tersebut tentu saja menimbulkan
konsekuensi bagi PLN. Pada satu sisi PLN harus tetap menjalankan fungsi
sosialnya dalam bentuk public service
obligation (PSO) dan di sisi yang lain harus bisa mendapatkan keuntungan
berdasarkan kaidah-kaidah bisnis perusahaan yang rasional. Padahal dua fungsi
tersebut sangat bertentangan. Akibatnya PLN tidak bisa bergerak lincah. Pembentukan
anak perusahaan yang diharapkan bisa menjalankan fungsi komersial ternyata tak
berdampak banyak bagi PLN untuk mendapatkan laba. Dengan kata lain anak
perusahaan tak lebih daripada unit bisnis PLN.[8]
Selain
itu, persoalan dari tubuh PLN sendiri sulit untuk diatasi. Pertumbuhan kebutuhan listrik tak sebanding dengan kemampuan
PLN menyediakan pembangkit. Keterbatasan keuangan melatarbelakangi merosotnya
peran PLN. Pemenuhan listrik di Indonesia mencapai US$12,5 miliar setiap tahun,
sementara kemampuan PLN hanya US$5 miliar per tahun. Selain itu, utang PLN yang
menggunung juga menjadi persoalan tersendiri. Utang PLN mencapai Rp 400
triliun, padahal aset PLN di tahun 2013 hanya berkisar Rp 604 triliun.[9]
Hal ini dipicu oleh kebergantugan PLN pada bahan bakar minyak yang cenderung
harganya melambung tinggi dari masa ke masa. Sedangkan bahan bakar fosil
lainnya seperti batu bara dan gas alam lebih banyak diekspor pemerintah dibandigkan
untuk dikonsumsi bangsa sendiri.
Menurut Direktur Keuangan PLN, Setio
Anggoro Dewo, mengatakan perseroan merugi hingga Rp 30,9 triliun sepanjang
tahun 2013 karena terjadi rugi kurs akibat utang PLN didominasi oleh valas (30%
dari total utang PLN). Utang valas tersebut misalnya pinjaman dari ADB, World
Bank, lembaga lain dari satu negara seperti JICA, JBIC, dan bank dari Prancis
AFD, termasuk global bond.[10] Selain itu, terdapat aturan
Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK) nomor 8 yang harus dilaksanakan PLN. Standar tersebut
mengharuskan pembiayaan jangka panjang dan sewa jangka panjang seperti penyediaan
listrik swasta (independent power producer/IPP) harus dikonsolidasikan
sebagai hutang PLN, artinya pembangkit yang dibangun swasta harus dibeli PLN.
Pemerintah tidak menutup mata dengan
keterbatasan PLN. Saat ini Kementerian ESDM
tengah menggodok regulasi power wheeling yang memungkinkan
produsen listrik swasta membangun pembangkit dan menjual listrik secara
langsung tanpa melalui PLN. Menurut Nur Pamudji, Direktur Utama PLN, regulasi
itu tidak akan menarik minat swasta membangun pembangkit listrik. Pasalnya,
skema power wheeling berbeda dengan IPP yang
listriknya dibeli PLN. Produsen listrik swasta dengan skema power wheeling tak
memiliki jaminan konsumen yang mengakibatkan lembaga pemberi modal tak akan
memberikan kredit dengan mudah.
Oleh karena itu, kerja sama yang bersifat mengikat
antara PLn dan pihak swasta lokal
maupun asing dianggap solusi satu-satunya yang bisa mengeluarkan PLn dari ketidak berdayaannya. Kerjasama
dengan konsultan-konsultan lokal maupun asing terus di tumbuh-kembangkan dalam
rangka meningkatkan pangsa pasar. Padahal sejatinya, bagi asing hal tersebut
merupakan jalan mulus menuju penguasaan sektor yang menanggung hajat hidup
orang banyak ini. Inilah wajah asli dari neoliberalisme yang kian mencengkram.
TDL naik,
Rakyat Jadi Korban
Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintah berhak
untuk campur tangan dalam urusan BUMN termasuk PLN khususnya dalam hal
penetapan tarif. Sebagai realisasi
dari regulasi tersebut, maka pemerintah dan PLN memberlakukan kenaikan TDL per Januari 2015 dengan alasan jatah subsidi yang
diberikan sedikit sedangkan modal yang diperlukan untuk pengadaan listrik lebih
besar. Padahal harga bahan bakar minyak mentah yang dijadikan sebagai bahan
bakar utama pembangkit listrik saat ini mengalami penurunan.
Melalui kenaikan TDL ini mengindikasikan bahwa
pemerintah secara bertahap melakukan pemangkasan subsidi listrik karena dianggap
telah membebani APBN. Padahal besaran subsidi listrik yang akan dinikmati oleh
seluruh kalangan masyarakat maupun industri jauh lebih kecil dibandingkan
dengan beban lain -misalnya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), bunga
hutang negara dan dana berbagai tunjangan pejabat negara- yang dinikmati oleh
segelintir orang saja. Di samping itu, kerugian yang dikeluhkan oleh PLN
sendiri pada dasarnya merupakan akibat serta konsekuensi dari diubahnya status
PLN sebagai perum menjadi persero dan diterapkannya kebijakan unbundling yang seharusnya menjadi
tanggung jawab pemerintah bukan akhirnya membebankan kepada masyarakat dengan
menarik tarif yang lebih tinggi.
Dampak dari kenaikan TDL tersebut banyak dirasakan
oleh masyarakat baik kalangan menengah ke atas maupun menengah ke bawah. Manager
Operasional Cabe Rawit Copy & Printing
Palembang, Yanti mengatakan, kenaikan TDL sangat memberatkan ongkos produksi
percetakan karena kebutuhan listrik untuk industri digital printing sangat
besar, mencapai 75% dari keseluruhan biaya operasional. Akibatnya masyarakat
kecil, terutama anak-anak usia sekolah (SD, SMP, dan SMA) serta mahasiswa yang
sering menggunakan jasa tersebut ikut terbebani. Ketua Forum Pedagang Kaki Lima
(FPKL) AP Luat Siahaan, mengatakan kenaikan TDL membuat daya beli masyarakat
menurun yang berimbas pada menurunnya omset. Selanjutnya akan memicu pemutusan
hubungan kerja (PHK) besar-besaran sehingga berdampak pada pengangguran
yang semakin tinggi.
Liberalisasi Biang Kerok Karut Marut
Ketenagalistrikan Indonesia
Sejak dilahirkannya, sistem
kapitalisme adalah sistem yang telah memiliki cacat bawaan. Oleh karena itu,
Indonesia sebagai negara yang menggunakan sistem kapitalisme sebagai sistem
pemerintahannya banyak mengalami kekacauan multidimensi termasuk dalam sektor ketenagalistrikan. Liberalisme
sektor migas sebagai turunan dari sistem kapitalisme memberikan peran penting
terhadap karut marutnya ketenagalistrikan Indonesia. Bahan bakar utama yang
digunakan untuk pembangkit listrik seperti batu bara, gas alam dan minyak
mentah pada akhirnya banyak dikelola secara langsung oleh asing. Tidak hanya
karena legalisasi dalam bentuk perundangan, keleluasaan swasta terutama asing
pun dipicu oleh keberadaan teknologi berat semisal alat pengoboran yang banyak dimiliki
oleh asing. Bahan baku yang didapatkan kemudian lebih banyak diekspor untuk
kepentingan negara lain dibandingkan untuk kepentingan negara sendiri.
Lagi-lagi hal ini dipicu oleh ketidak mampuan pemerintah dalam mengadakan
teknologi pengelolaan migas tersebut semisal pengilangan minyak yang pada
akhirnya negara harus membeli bahan bakar yang telah diolah asing padahal bahan
bakunya berasal dari negeri sendiri. Akibatnya laba yang didapatkan dalam
penjualan bahan baku tak sebanding dengan pengeluaran dalam pengadaan bahan
bakar yang siap pakai.
Selain itu, perubahan status PLN
menjadi perusahaan persero membuka dengan leluasa peran swasta dalam pemenuhan
kebutuhan listrik dalam negeri. Bagian yang banyak digeluti swasta adalah dalam
pengadaan pembangkit sedangkan pengadaan sistem transmisi dan distribusi
dilakukan oleh PLN. Meskipun total pembangkit swasta hanya sekitar 25%, namun keuntungan
yang diperoleh dalam sistem pembangkit lebih besar yaitu sekitar 15-22%.
Sedangkan keuntungan dalam pengadaan transmisi hanya 5-6%, padahal biaya yang
dikeluarkan dalam pengadaan transmisi dan distribusi lebih besar yaitu untuk
pengadaan kabel transmisi yang menghubungkan antar daerah bahkan pulau, gardu
transmisi, gardu distribusi dan lain-lain.
Selain biaya pengadaannya yang relatif besar, PLN pun
semakin merugi dengan berkurangnya arus listrik akibat dari losess energy yang ditimbulkan oleh
panjangnya kabel penghubung transmisi dan distribusi karena jauhnya jarak
pembangkit dengan pelanggan. Oleh karena itu, mau tidak mau PLN harus menambah
beban penarikan pelayanan listrik dari masyarakat dengan konsekuensi kualitas
pelayanan yang tetap sama. Maka wajar jika masyarakat terutama di luar pulau
Jawa dan Bali sering mengalami pemadaman listrik secara rutin serta pembangunan
infrastruktur yang terlambat bahkan cenderung di anak tirikan. Strategi dan pendekatan
penyediaan tenaga listrik yang bercorak liberalisasi, unbundling dan terdesentralisasi inilah yang mengakibatkan kacau
balaunya sistem ketenagalistrikan Indonesia.
Persfektif Islam Terhadap
Ketenagalistrikan
Sistem ekonomi islam memiliki aturan
yang jelas dalam kepemilikan setiap harta kekayaan yang ada di muka bumi ini. Kepemilikan
harta pada dasarnya adalah kepemilikan bagi Allah, bukan bagi manusia (Q.S.
An-Nur [24]: 33 dan Q.S. Nuh [71]: 12). Namun, ketika Allah menjadikan manusia
yang menguasai harta, maka Allah telah menjadikan hak kepemilikan harta itu
kepada manusia (Q.S. Al-Hadid [57]: 7). Adapun jika dikaji secara mendalam
terhadap sejumlah nash syara’, maka kepemilikan dibagi kedalam tiga kategori,
yaitu kepemilikan individu, umum dan negara.[9]
Kepemilikan individu yaitu hukum
syara’ atas barang dan jasa yang memberinya peluang bagi orang yang memilikinya
untuk memperoleh manfaat serta mendapatkan imbalan dari penggunaannya. Diantara
dalil yang mendasarinya adalah sabda Nabi saw, “Barang siapa memasang pagar atas sesuatu, maka sesuatu itu menjadi
miliknya.”(HR. Al-Imam Ahmad). Kepemilikan umum yaitu izin asy-Syari’
kepada masyarakat untuk memanfaatkan barang-barang secara bersama-sama. Dalil
definisi ini adalah nas-nas yang menyatakan tentang kepemilikan umum, seperti
sabda Nabi saw, “Kaum Muslim berserikat
dalam tiga perkara: padang rumput, air dan api.”(HR Abu Dawud dan Ahmad).
Sedangkan kepimilikan negara adalah setiap harta kekayaan yang penggunaannya
diserahkan kepada pendapat kepala negara (khalifah) dan ijtihadnya, seperti
pajak, kharaj dan jizyah. Sedangkan dalil atas kepemilikan
negara adalah bahwa Rasulullah saw
pernah menafkahkan fa’i, harta kharaj
dan jizyah berdasarkan pendapatnya.
Oleh karena itu, dalam persfektif
islam, listrik yang merupakan bagian dari energi adalah milik umum. Selain
karena masuk dalam kategori ‘api’ yang
merupakan milik umum, sumber energi yang digunakan untuk pembangkit listrik
baik oleh PLN maupun swasta sebagian besar berasal dari barang tambang yang jumlahnya
besar juga merupakan milik umum. Dengan demikian, pengelolaan listrik tidak
boleh diserahkan pada pihak swasta, karena Allah swt telah mengamanatkan kepada
Negara (Khilafah) untuk mengelolanya, sebagaimana hadis Rasulullah “Al imam adalah pemimpin kaum muslim yang
akan bertanggung-jawab terhadap yang dipimpinpinya”. Negaralah yang
bertanggungjawab sepenuhnya dalam pengelolaan sumber energi, tidak hanya
sebagai regulator tapi sekaligus sebagai pengelolanya langsung. Negara
bertanggungjawab sedemikian rupa sehingga setiap individu rakyat terpenuhi
kebutuhan listriknya baik dari sisi kualitas maupun kuantitas dengan harga
murah bahkan gratis untuk seluruh rakyat baik kaya atau miskin, muslim maupun
non muslim.
Tata Kelola Ketenagalistrikan
Khilafah
Khilafah adalah kepemimpinan umum kaum muslim yang
menerapkan aturan islam dalam seluruh aspek kehidupan. Setiap kebijakan yang
ada dalam negara khilafah selalu berdasarkan pada nas-nas syara’. Kholifah
sebagai kepala negara khilafah akan menyelesaikan setiap permasalahan
masyarakatnya dengan pertimbangan manusia dilihat dari potensi hidupnya. Oleh
karena itu, setiap kebutuhan manusia yang bersifat primer (sandang, papan, dan
pangan) akan senantiasa diperhatikan dan dipenuhi seutuhnya oleh negara,
termasuk di dalamnya juga pemenuhan listrik yang menjadi kebutuhan setiap warga
negara.
Hal yang utama dilakukan khilafah adalah penguasaan sumber energi yang menjadi
hak milik umum rakyat beserta pengadaan teknologinya. Adapun kerjasama dengan
pihak swasta bukanlah dalam bentuk Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), dimana
pengelolaan sepenuhnya dilakukan oleh pihak swasta sementara pemerintah hanya
meperoleh hak bagi hasil. Akan tetapi harus berupa relasi yang tidak akan
mengurangi wewenang, fungsi dan tanggung jawab Negara, seperti sewa menyewa,
upah mengupah yang sesuai ketentuan syariat Islam.
Langkah berikutnya negara akan berfokus mengembangkan
badan risetnya di bidang energi, sehingga mampu menemukan sumber-sumber energi
baru yang potensial untuk dieksploitasi. Penelitian-penelitian anak bangsa akan
didukung penuh, dibiayai dan difasilitasi bahkan hasil dari penelitiannya akan
dijadikan produk massal dan dimanfaatkan secara cuma-cuma oleh masyarakat. Ketika
diversifikasi energi tersebut dapat dilakukan, maka negara tidak akan hanya
bergantung pada satu sumber energi saja. Alhasil krisis bahan bakar tidak akan
menjadi alasan pelalaian negara dalam memenuhi kebutuhan listrik rakyat. Negara
memastikan bahwa semua energi tersebut dapat dinikmati oleh seluruh rakyat
maupun oleh dunia industri.
Selanjutnya, negara akan membangun sistem sarana dan
prasarana yang efektif dan efisien. Sistem pembangkit tenaga listrik akan
dibangun disetiap daerah berdasarkan potensi energi yang dimilikinya. Misalnya
untuk daerah yang intensitas cahaya mataharinya tinggi, maka akan dibangun
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), untuk daerah yang potensi tenaga airnya
besar akan dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), untuk daerah yang
memiliki banyak sungai dengan ketinggian yang cukup akan dibangun Pembangkit
Listrik Tenaga Mikro Hidro dan Piko Hidro (PLTMH dan PLTPH), untuk daerah yang
memiliki kecepatan aingin yang besar maka akan dibangun Pembangkit Listrik
Tenaga Banyu (PLTB) dan seterusnya. Hal ini mengakibatkan mudahnya pendistribusian
listrik kepada masyarakat dan tidak memerlukan biaya transmisi dan distribusi
yang mahal.
Kelebihan dari kebutuhan dalam negeri dapat diekspor
ke luar negeri yang keuntungannya dikembalikan kepada seluruh rakyat dalam
bentuk kebutuhan publik lainnya seperti pendidikan, kesehatan, dan
infrastruktur maupun untuk riset dan pengembangan teknologi dan sumber daya
manusia bidang energi. Selain itu, pengembangan infrastruktur ini akan
menciptakan berjuta-juta lapangan pekerjaan yang akan mengangkat berjuta-juta
orang keluar dari kemiskinan. Pada gilirannya pengembangan energi akan
memberikan efek luar biasa dengan merangsang ekonomi yang lebih luas melalui
pengembangan industri berat, kompleks-kompleks manufaktur, industri-industri
militer, industri-industri penyulingan dan pabrik-pabrik.
Dengan begitu, Negara Khilafah benar-benar akan bisa
mengelola energinya secara mandiri dan tidak diintervensi oleh negara manapun.
Jika itu terjadi, maka hasil dari pengelolaan energi itu bukan hanya akan
membawa kemakmuran bagi rakyatnya tetapi juga menjadi kekuatan bagi negara.
Negara bukan saja mengalami swasembada energi tetapi juga bisa menjadikan energinya
sebagai kekuatan diplomasi. Lain halnya dengan kosdisi saat ini yang
memperlihatkan kekacauan yang terus menerus terjadi dalam waktu yang sangat
panjang. Hal ini tentu tidak terlepas
dari buah diterapkannya sistem ekonomi kapitalis dan sistem politik demokrasi
yang mencengkram saat ini. Sistem tersebutlah yang menyebabkan liberalisasi pada tata kelola listrik, baik
sumber energi primer maupun pelayanan listrik yang berimbas pada kesulitan
hidup masyarakat. Oleh karena itu, khilafah yang menerapkan syari’at islam yang
sempurnalah yang hanya mampu menjadi solusi jitu satu-satunya dalam
permasalahan ketenagalistrikan yang dialami Indonesia. Jika khilafah mampu
ditegakkan di Indonesia, maka tidak hanya menimbulkan kesejahteraan dunia tapi
pun mengundang keberkahan hidup di akhirat.
Wallohu’alam bi ashowab[]
Keterangan:
VA = Volt Ampere
kVA = kilo Volt Ampere
kWh = kilo Watt hour
MMSTB = Million Metric Stock Tank Barrels
TSCF = Trillion Square Cubic Feet
GWe = Giga Watt electric
GW = Giga Watt
Daftar
Pustaka:
[9] Muhsin Rodhi, Muhammad. 2012. “Tsaqofah dan Metode Hizbut Tahrir dalam
Mendirikan Khilafah”. Bogor: Al Azhar Fresh Zone Publishing
Lampiran
Lampiran 1. Potensi Minyak Bumi
Indonesia
Lampiran 2. Potensi Gas Bumi
Indonesia
Lampiran
3. Potensi Batu Bara Indonesia
Lampiran
4. Potensi Panas Bumi
Lampiran
5. Potensi Tenaga Air Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar