Sumber: minanews.net |
Ramai diberitakan pada akhir bulan
lalu (26/01), Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengungkapkan Kementeriannya
akan merumuskan standar kualifikasi untuk penceramah agama. Beliau mengatakan
bahwa sekarang Kementerian Agama bekerja keras untuk merumuskan apa kualifikasi
atau kompetensi yang diperlukan sebagai standar penceramah itu. Beliau pun
menerangkan, seorang penceramah baru bisa diakui sebagai penceramah yang qualified jika sudah ada standar
kualifikasi. Sertifikasi ini nantinya diharapkan dapat mengurangi sikap-sikap
intoleran antar umat beragama.
Namun nyatanya, ide ini lagi-lagi
menuai pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Terlebih situasi politik dan
agama di Indonesia hari ini kian memanas pasca kasus dugaan pelecehan agama
oleh Gubernur Petahanah DKI Jakarta, Basuki Tcahya atau Ahok. Lalu sikap-sikap
pihak kemanan yang terkesan menyudutkan islam dengan adanya penangkapan Nurul
Fahmi atas dugaan penodaan lambing Negara bendera merah putih yang bertuliskan
kalimat syahadat serta kasus-kasus kriminalisasi ulama lainnya. Masyarakat
banyak menilai bahwa, ide standarisasi ulama atau khatib jum’at ini adalah
serangkaian upaya yang dilakukan pemerintah terhadap situasi politik agama saat
ini yang cenderung memojokkan islam dan symbol islam.
Sebenarnya, ide tersebut bukanlah
ide yang baru. Ide sertifikasi ulama sempat diwacanakan oleh ketua Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada tahun 2012. Namun, ribuan ulama
banyak menolak rencana tersebut. Meski kemudian pada akhirnya pihak BNPT
mengklarifikasi bahwa pernyataan tersebut dilontarkan terkait ketatnya negara
tetangga Singapura dalam menanggulangi aksi terorisme mulai dari UU Antiteroris
sampai peran ulama.
Memang, sertifikasi ulama sudah
dilakukan di berbagai Negara seperti Singapura dan Malaysia. Di Singapura,
gerak-gerik umat Islam selalu diawasi. Bukan hanya ulama’nya, tetapi juga
umatnya. Untuk mengontrol dan mengawasi para ulama’, Singapura menerapkan kebijakan
sertifikasi ini. Bagi siapapun yang tidak mempunyai sertifikat (tauliah), meski
secara keilmuan dan kualifikasi keulamakannya diakui, tetap tidak bisa
memberikan ceramah di muka umum. Mereka tidak bisa memberikan khutbah, ceramah
maupun kajian, baik di masjid maupun di tempat terbuka. Tidak hanya itu, naskah
khutbahnya pun mereka dikte, dimana setiap Jum’at, mereka hanya diperbolehkan
membaca naskah khutbah yang disediakan oleh Majelis Ugama Islam (MUIS)
Singapura. Jika mereka melanggar, mereka akan dicabut tauliah-nya, dan bisa
dijerat dengan UU ISA. Di setiap masjid, dan tempat-tempat umat Islam
berkumpul, special branch (SB) atau intel ditempatkan. Tidak hanya itu, CCTV
pun di pasang di mana-mana, termasuk di dalam masjid, untuk mengintai gerak-gerik
umat Islam di sana, dan memonitor isi khutbah atau kajian yang disampaikan.
Hal itu lah yang banyak
dikhawatirkan oleh ulama dan masyarakat Indonesia. Adaanya ide standarisasi
ulama atau khatib jum’at dikhawatirkan dilakukan sebagai sarana untuk mengkontrol
ulama dan membungkam sikap kritisme ulama. Mengapa? Karena Indonesia adalah
Negara yang mayoritas (sekitar 95%) penduduknya beragama islam, dan mereka
begitu taat kepada ulamanya. Sehingga akan sangat memudahkan kepentingan
tertentu jika ulamanya bisa dikendalikan.
Jika gambaran di Singapura yang
menjadi akhir tujuannya, maka bukan saja sarat kepentingan, tapi juga membuat
ulama keluar dari kewajibannya untuk berdakwah. Berdakwah adalah menyerukan
kebaikan dan mencegah kemungkaran. Menyerukan kebaikan adalah hal yang mudah tetapi
mencegah kemungkaran ini banyak risiko, dan ini tidak linear dengan sertifikasi
ulama. Maka sudah semestinya ide ini ditolak oleh semua kalangan. Ulama harus
selalu didukung untuk melaksanakan amanahnya, meski dia harus mengkritik
penguasanya. Karena sesungguhnya, kritiknya itu merupakan ‘nahyi mungkar’, mencegah kemungkaran. Siapa orang yang menginginkan
kemungkaran terjadi? Rasanya tidak ada seorang pun yang menginginkannya. Oleh
karena itu, semua yang dilakukan oleh ulama baik menyerukan kebaikan atau
mencegah kemungkaran adalah hal yang mendatangkan kebaikan bagi semua pihak. Wallohu’alam bi ashowab[]
0 komentar:
Posting Komentar