Rabu, 10 Juli 2019

Sumber: minanews.net


            Ramai diberitakan pada akhir bulan lalu (26/01), Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengungkapkan Kementeriannya akan merumuskan standar kualifikasi untuk penceramah agama. Beliau mengatakan bahwa sekarang Kementerian Agama bekerja keras untuk merumuskan apa kualifikasi atau kompetensi yang diperlukan sebagai standar penceramah itu. Beliau pun menerangkan, seorang penceramah baru bisa diakui sebagai penceramah yang qualified jika sudah ada standar kualifikasi. Sertifikasi ini nantinya diharapkan dapat mengurangi sikap-sikap intoleran antar umat beragama.
            Namun nyatanya, ide ini lagi-lagi menuai pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Terlebih situasi politik dan agama di Indonesia hari ini kian memanas pasca kasus dugaan pelecehan agama oleh Gubernur Petahanah DKI Jakarta, Basuki Tcahya atau Ahok. Lalu sikap-sikap pihak kemanan yang terkesan menyudutkan islam dengan adanya penangkapan Nurul Fahmi atas dugaan penodaan lambing Negara bendera merah putih yang bertuliskan kalimat syahadat serta kasus-kasus kriminalisasi ulama lainnya. Masyarakat banyak menilai bahwa, ide standarisasi ulama atau khatib jum’at ini adalah serangkaian upaya yang dilakukan pemerintah terhadap situasi politik agama saat ini yang cenderung memojokkan islam dan symbol islam.
            Sebenarnya, ide tersebut bukanlah ide yang baru. Ide sertifikasi ulama sempat diwacanakan oleh ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada tahun 2012. Namun, ribuan ulama banyak menolak rencana tersebut. Meski kemudian pada akhirnya pihak BNPT mengklarifikasi bahwa pernyataan tersebut dilontarkan terkait ketatnya negara tetangga Singapura dalam menanggulangi aksi terorisme mulai dari UU Antiteroris sampai peran ulama.
            Memang, sertifikasi ulama sudah dilakukan di berbagai Negara seperti Singapura dan Malaysia. Di Singapura, gerak-gerik umat Islam selalu diawasi. Bukan hanya ulama’nya, tetapi juga umatnya. Untuk mengontrol dan mengawasi para ulama’, Singapura menerapkan kebijakan sertifikasi ini. Bagi siapapun yang tidak mempunyai sertifikat (tauliah), meski secara keilmuan dan kualifikasi keulamakannya diakui, tetap tidak bisa memberikan ceramah di muka umum. Mereka tidak bisa memberikan khutbah, ceramah maupun kajian, baik di masjid maupun di tempat terbuka. Tidak hanya itu, naskah khutbahnya pun mereka dikte, dimana setiap Jum’at, mereka hanya diperbolehkan membaca naskah khutbah yang disediakan oleh Majelis Ugama Islam (MUIS) Singapura. Jika mereka melanggar, mereka akan dicabut tauliah-nya, dan bisa dijerat dengan UU ISA. Di setiap masjid, dan tempat-tempat umat Islam berkumpul, special branch (SB) atau intel ditempatkan. Tidak hanya itu, CCTV pun di pasang di mana-mana, termasuk di dalam masjid, untuk mengintai gerak-gerik umat Islam di sana, dan memonitor isi khutbah atau kajian yang disampaikan.
            Hal itu lah yang banyak dikhawatirkan oleh ulama dan masyarakat Indonesia. Adaanya ide standarisasi ulama atau khatib jum’at dikhawatirkan dilakukan sebagai sarana untuk mengkontrol ulama dan membungkam sikap kritisme ulama. Mengapa? Karena Indonesia adalah Negara yang mayoritas (sekitar 95%) penduduknya beragama islam, dan mereka begitu taat kepada ulamanya. Sehingga akan sangat memudahkan kepentingan tertentu jika ulamanya bisa dikendalikan.
            Jika gambaran di Singapura yang menjadi akhir tujuannya, maka bukan saja sarat kepentingan, tapi juga membuat ulama keluar dari kewajibannya untuk berdakwah. Berdakwah adalah menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Menyerukan kebaikan adalah hal yang mudah tetapi mencegah kemungkaran ini banyak risiko, dan ini tidak linear dengan sertifikasi ulama. Maka sudah semestinya ide ini ditolak oleh semua kalangan. Ulama harus selalu didukung untuk melaksanakan amanahnya, meski dia harus mengkritik penguasanya. Karena sesungguhnya, kritiknya itu merupakan ‘nahyi mungkar’, mencegah kemungkaran. Siapa orang yang menginginkan kemungkaran terjadi? Rasanya tidak ada seorang pun yang menginginkannya. Oleh karena itu, semua yang dilakukan oleh ulama baik menyerukan kebaikan atau mencegah kemungkaran adalah hal yang mendatangkan kebaikan bagi semua pihak. Wallohu’alam bi ashowab[]


0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Total Tayangan Halaman

Blogroll

About

Assalamu'alaikum.. Mencoba berbagi berbagai pemikiran yang disandarkan pada islam politis, sebagai sarana belajar mengasah kemampuan berpikir dan analisis politik dengan kerangka yang islami. Bebas share dengan dicantumkan sumber referensinya. Semoga bermanfaat :) Wassalam..

Popular Posts

Blog Archive